Loe raamatut: «Bangkitnya Para Naga», lehekülg 16

Font:

BAB DUA PULUH DUA

Kyra berjalan menyusuri jalanan berkelok di Volis; salju bergemerisik terinjak sepatu botnya, dan ia masih merasakan linglung setelah menghadapi pertempuran pertamanya itu. Semua terjadi begitu cepat, lebih ganas dan lebih sengit dari yang ia bayangkan. Banyak prajurit mati—dan mereka adalah para prajurit yang baik—mereka adalah para pria yang telah ia kenal sejak kecil, dan mereka mati dengan cara yang mengerikan dan menyengsarakan. Para ayah dan saudara laki-laki dan suami, kini mereka terbujur tak bernyawa di atas salju; mayat-mayat mereka bertumpuk di luar gerbang benteng, karena tanah masih terlalu keras untuk menguburkan mereka.

Ia memejamkan mata dan berusaha mengusir bayangan itu.

Itu adalah sebuah kemenangan, namun sekaligus membuatnya sadar seperti apakah sebuah pertempuran yang sesungguhnya, dan betapa mudahnya hidup ini berakhir. Pertempuran itu menunjukkan betapa mudahnya nyawa seseorang melayang—dan betapa mudah ia mencabut nyawa seseorang—dan kedua hal itu sama-sama membuatnya tak enak hati.

Ia selalu ingin menjadi seorang prajurit yang hebat; namun sekarang ia mengerti betapa besar harga yang harus dibayarkan untuk mewujudkan keinginannya. Kehormatan adalah sesuatu yang ia inginkan, namun ia juga sadar tak ada satu pun kehormatan yang mudah diraih. Kehormatan bukanlah serupa dengan barang rampasan perang, kehormatan adalah sesuatu yang tak dapat digenggamnya dengan tangan, kehormatan bukanlah pajangan yang bisa ia gantungkan di dinding. Dan kehormatan itulah yang diinginkan oleh semua prajurit itu. Lantas apanya yang harus disebut kehormatan? Setelah pertempuran itu berakhir, ke manakah kehormatan itu?

Dan lebih dari semua itu, kejadian hari ini membuat Kyra bertanya-tanya tentang dirinya sendiri, tentang kekuatan misteriusnya, yang datang dengan tiba-tiba dan kini lenyap pula dengan begitu cepat. Ia berusaha untuk memanggil kekuatan itu kembali, namun ia tak dapat melakukannya. Kekuatan apakah itu? Dari manakah asalnya? Kyra tak senang dengan segala sesuatu yang tak dapat ia mengerti, dengan segala hal yang tak dapat ia kendalikan. Ia lebih senang tak memiliki kekuatan itu namun memahami dari mana asalnya kemampuan yang punya.

Tatkala melangkah di jalan itu, ia terheran-heran akan sambutan para penduduk. Setelah pertempuran itu, ia mengira mereka akan ketakutan, mengunci rapat-rapat rumahnya atau bersiap pergi meninggalkan benteng. Apalagi melihat begitu banyak Pasukan Pengawal yang mati, dan mereka pastilah tak lama lagi akan menghadapi kemurkaan Pandesia. Pasukan yang amat banyak dan ganas akan menyerbu mereka; mungkin besok, mungkin lusa, atau mungkin pekan depan—namun jelas mereka pasti akan datang. Seisi benteng ini kini tak lebih adalah mayat-mayat yang masih hidup. Bagaimana bisa mereka tak merasa takut?

Dan setelah ia berada di tengah-tengah semua orang itu, Kyra tak sedikit pun mendapati perasaan takut. Sebaliknya, ia justru melihat penduduk yang riang, bergairah, dan bersemangat; ia melihat orang-orang yang merdeka. Mereka hilir mudik ke segala arah, saling menepuk punggung satu sama lain sebagai ungkapan perayaan kemenangan—dan sekaligus persiapan untuk pertempuran berikutnya. Mereka mengasah senjata, memperkuat pintu gerbang, menumpuk batu-batu hingga tinggi menjulang, menyimpan perbekalan makanan, dan bekerja dengan bergegas, diliputi oleh suasana yang genting. Orang-orang Volis itu bertekad baja, seperti teladan yang diberikan oleh ayahnya. Mereka adalah orang-orang yang pantang menyerah, dan memang senyatanya mereka kini tengah menantikan pertempuran berikutnya, apa pun taruhannya dan seberapa pun tipisnya peluang mereka.

Kyra juga melihat suatu hal yang lain ketika ia berjalan di antara kerumunan orang-orang itu, sesuatu yang membuatnya terusik: yaitu cara mereka memandang pada dirinya kini. Jelas kabar tentang apa yang ia perbuat dalam pertempuran itu telah menyebar, dan ia mendengar mereka berbisik-bisik membicarakannya. Mereka memandang padanya seoalah Kyra bukanlah bagian dari mereka, orang-orang yang telah ia kenal dan ia cintai seumur hidupnya. Pandangan semacam itu membuatnya merasa bagaikan orang asing di tengah-tengah mereka, dan membuatnya bertanya-tanya dari manakah sesungguhnya ia berasal. Lebih dari itu, pandangan itu membuatnya bertanya-tanya tentang rahasia yang disembunyikan oleh ayahnya.

Kyra berjalan di atas permukaan dinding pertahanan dan meniti anak tangga batu dengan Leo di sampingnya, lantas naik ke lantai atas. Ia berjalan melewati seluruh anak buah ayahnya yang tengah berjaga, berderet dengan jarak sekitar dua puluh kaki satu sama lain, dan ia pun merasa bahwa seluruh penjaga itu kini memandang dirinya dengan tatapan yang tak seperti biasanya, dengan tatapan yang penuh rasa hormat. Tatapan yang memang layak ia dapatkan.

Kyra berbelok di sebuah sudut, dan di kejauhan ia melihat seseorang tengah berdiri di atas gerbang berbentuk melengkung sembari memandang ke arah pinggiran desa, itulah seseorang yang tengah ia cari: ayahnya. Ayahnya berdiri dengan berkacak pinggang, ditemani beberapa anak buah di sekelilingnya, dan pandangan mereka semua tertuju pada salju yang mulai turun. Ayahnya berdiri menahan terpaan angin, diam bergeming—tak juga ia surut oleh luka-luka yang didapatnya setelah pertempuran itu.

Ia berpaling saat Kyra mendekat, lalu memberi isyarat pada para anak buahnya. Mereka semua menjauh, hingga tinggal ayahnya seorang diri.

Leo pun berlari menghampiri lalu menjilat-jilat tangannya, kemudian ayahnya mengelus kepala Leo.

Kyra berdiri memandang ayahnya, dan ia tak tahu apa yang harus dikatakannya. Ayahnya balas menatap dengan tatapan datar, dan Kyra tak yakin apakah ayahnya tengah marah atau bangga padanya, atau keduanya sekaligus. Ayahnya adalah seseorang yang sangat sulit dipahami, bahkan pada hal-hal paling kecil sekalipun—dan yang terjadi saat ini bukanlah soal kecil. Muka ayahnya tegang, keras bagai gunung-gunung yang menjulang di kejauhan dan pucat bagai putihnya salju yang tengah turun, dan ia tampak seperti sebuah batu tua yang dipakai untuk membangun Volis. Kyra tak tahu mana yang lebih tepat, apakah ayahnya adalah pemilik tempat ini, atau tempat inilah yang memiliki ayahnya.

Ayahnya berpaling lalu kembali memandangi daerah tepian desa, dan Kyra pun ikut berdiri di sampingnya dan memandang ke arah yang sama. Mereka berdua terdiam membisu; hanya desau angin yang terdengar saat Kyra menanti ayahnya angkat bicara.

"Dahulu ayah merasa bahwa keselamatan dan ketenteraman hidup kita di sini jauh lebih penting daripada kebebasan kita," gumam ayahnya dengan suara yang dalam. "Namun sekarang, ayah merasa bahwa semua itu salah. Kau telah mengajarkan sesuatu yang telah ayah lupakan: yaitu bahwa kebebasan dan kehormatan itu jauh lebih berharga daripada apa pun."

Ayahnya tersenyum sembari menatapnya, dan Kyra merasa lega melihat tatapan hangat di mata ayahnya itu.

"Kau telah memberikan hadiah terindah bagi ayah," katanya. "Kau telah mengingatkan ayah tentang arti kehormatan."

Kyra tersenyum, tersentuh oleh kata-kata ayahnya, dan lega bahwa ternyata ayahnya tak marah padanya; ia merasa bahwa hubungan mereka berdua telah membaik.

"Rasanya sangat menyedihkan melihat para prajurit itu gugur," kenang ayahnya, sembari memandang kembali ke tepian pedesaan. "Bahkan bagi ayah sendiri."

Keheningan pun menyelimuti, dan Kyra menerka-nerka apakah ayahnya akan menceritakan apa yang telah terjadi; ia merasa bahwa ayahnya ingin bercerita tentang hal itu. Kyra ingin membicarakannya, namun ia tak tahu bagaimana harus memulainya.

"Apakah aku ini berbeda, Ayah?" tanya Kyra pada akhirnya, dengan suara lirih dan ragu-ragu untuk mengutarakannya.

Ayahnya masih memandangi kaki langit, entah apa yang tengah dipikirkannya, hingga akhirnya ia mengangguk perlahan.

"Sesuatu telah terjadi pada ibu, benarkah demikian?" desak Kyra. "Siapakah sebenarnya dirinya? Apakah aku ini benar-benar putrimu?"

Ayahnya menoleh dan memandang pada dirinya; matanya menyiratkan kesedihan dan kenangan yang tak dapat Kyra pahami.

"Simpanlah pertanyaan itu untuk lain kali," kata ayahnya. "Jika kau sudah siap nanti."

"Aku siap sekarang ini," jawab Kyra bersikukuh.

Ayahnya menggeleng.

"Ada begitu banyak hal yang harus kau pelajari terlebih dulu, Kyra. Ada banyak rahasia yang ayah sembunyikan darimu," kata ayahnya dengan suara yang berat dan bergetar. "Rasanya menyedihkan harus menyembunyikan hal itu, namun ini semua demi melindungimu. Waktunya telah dekat bagimu untuk mengetahui semuanya, untuk mengetahui siapa dirimu sebenarnya."

Kyra masih berdiri di situ dengan jantung berdegup kencang, namun sekaligus ia merasa cemas.

"Ayah pikir ayah sanggup membesarkanmu," kata ayahnya sembari menghela nafas. "Mereka telah memperingatkan ayah bahwa pada akhirnya waktunya akan tiba juga, namun ayah tak memercayainya. Hingga hari ini, hingga ayah melihat sendiri kemampuanmu. Bakatmu...melebihi kemampuan ayah."

Kyra mengernyitkan alisnya kebingungan.

"Aku tak mengerti, Ayah," kata Kyra. "Apa maksud perkataanmu?"

Raut muka ayahnya pun berubah tegas.

"Inilah saatnya kau harus meninggalkan kami," kata ayahnya dengan suara yang mantap, dengan nada bicara yang ia ucapkan saat tekadnya telah teguh. "Kau harus meninggalkan Volis sekarang juga dan menemui pamanmu, kakak dari ibumu. Akis. Di Menara Ur."

"Menara Ur?" ulang Kyra dengan kaget. "Jadi pamanku adalah Sang Penjaga?"

Ayahnya menggelengkan kepala lagi.

"Pamanmu lebih dari itu. Dialah yang seharusnya melatih dirimu—dan hanya dialah yang dapat mengungkapkan rahasia tentang siapa sebenarnya dirimu."

Meskipun rahasia itu membuat Kyra cemas, namun ia senang juga mendengar gagasan tentang pergi meninggalkan Volis.

"Aku tak ingin pergi" kata Kyra. "Aku ingin tetap berada di sini, bersama Ayah. Terlebih pada saat-saat seperti sekarang ini."

Ayahnya menghela nafas.

"Sayangnya, keinginanmu dan keinginan ayah tak lagi penting," katanya. "Ini bukan tentang dirimu dan ayah. Ini tentang Escalon—tentang seluruh Escalon. Nasib tanah air kita ini berada di tanganmu. Mengertikah kau, Kyra?" ujar ayahnya sembari berpaling pada dirinya. "Dirimu. Dirimulah yang akan memimpin bangsa kita keluar dari kegelapan."

Mata Kyra mengerjap, terkejut, tak percaya mendengar kata-kata ayahnya.

"Hah?" tanyanya. "Bagaimana bisa begitu?"

Namun ayahnya hanya tediam, tak berucap sepatah kata pun.

"Aku tak bisa meninggalkanmu, Ayah" pinta Kyra. "Aku tak mau. Jangan sekarang."

Ayahnya mengamati sisi desa, dan kesedihan tersirat dalam matanya.

"Dalam dua pekan mendatang, semua yang kau lihat saat ini akan hancur lebur. Kita tak punya harapan lagi. Kau harus pergi selagi masih ada waktu. Kau adalah satu-satunya harapan kami—akan sia-sia belakan jika kau mati di sini bersama kami."

Kyra menangkap kesedihant tersirat dalam kata-kata ayahnya itu. Ia tak sanggup pergi bila mengetahui seluruh bangsanya akan mati.

"Mereka akan kembali lagi, bukan?" tanya Kyra.

Namun kata-kata itu lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.

"Benar," jawab ayahnya. "Mereka akan menyerbu Volis, bagai serbuan wabah belalang. Semua yang kau kenal dan kau cintai akan musnah."

Dadanya terasa sesak mendengar jawaban itu, namun ia tahu bahwa memang demikianlah kenyataannya.

"Lantas bagaimana dengan ibu kota?" tanya Kyra. "Bagaimana dengan Sang Raja? Tidakkah ayah dapat pergi ke Andros dan mengumpulkan kembali pasukan yang dahulu dan bangkit melawan?"

Ayahnya menggeleng.

"Raja telah menyerah," kata ayahnya dengan nada sendu. "Masa untuk berperang telah lewat. Kini Andros dikuasai oleh para politisi, bukan oleh para prajurit, dan tak ada seorang pun yang dapat dipercaya di sana."

"Namun jika mereka tidak membela Volis, tentunya mereka akan membela Escalon," kata Kyra bersikukuh.

"Volis hanyalah sebuah benteng, yang dapat mereka abaikan begitu saja," kata ayahnya. "Kemenangan kita hari ini, sebesar apa pun itu, bagi mereka masih terlalu kecil untuk mempertaruhkan seluruh Escalon."

Mereka berdua kembali membisu sembari memandang ke kaki langit, dan Kyra masih merenungkan kata-kata ayahnya.

"Apakah ayah takut?" tanya Kyra.

"Seorang pemimpin yang baik harus selalu punya rasa takut," balas ayahnya. "Rasa takut akan menajamkan indera kita, dan membuat kita waspada. Namun bukan kematian yang ayah takutkan—ayah takut jika ayah mati dengan cara yang tidak terhormat."

Mereka berdiri menatap langit, dan Kyra merasa bahwa kata-kata ayahnya itu benar adanya. Keheningan yang panjang menyelimuti mereka berdua.

Akhirnya, ayahnya berpaling pada Kyra.

"Di manakah nagamu itu sekarang berada?" tanya ayahnya, lanta sekonyong-konyong berpaling dan berlalu, seperti yang sering ia lakukan.

Kyra masih berdiri seorang diri di situ sembari memandangi kaki langit; anehnya, ia pun tengah memikirkan pertanyaan yang sama dengan ayahnya. Langit kelabu, awan tebal bergulung-gulung, dan di dalam benaknya Kyra berharap mendengar suara lengkingan itu, suara kepak sayap dari balik awan.

Namun ia tak mendengar apa pun. Hanya ada kesunyian, dan pertanyaan ayahnya yang terus terngiang di telinga:

Di manakah nagamu itu sekarang berada?

BAB DUA PULUH TIGA

Alec terbangun oleh sebuah sepakan di tulang rusuknya, lalu ia membuka mata dengan tubuh yang letih, linglung, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ia mengeluarkan jerami yang masuk ke mulutnyal, dan menyadari bahwa ia tertidur dengan tubuh tertelungkup, lantas ia teringat bahwa ia tengah tidur di dalam barak. Ia begadang sepanjang malam, berjaga untuk Marco dan dirinya sendiri karena semalam berulang kali terjadi perkelahian antar pemuda di situ; mereka saling mengendap-endap dalam kegelapan, meneriaki satu sama lain dengan suara mengerikan. Ia berkali-kali melihat seorang pemuda diseret kakinya, dengan tubuh tak bernyawa—pemuda yang lain masih saja sempat menggerayangi dan menggeledah mayat-mayat itu untuk mencari apa yang masih bisa mereka dapatkan darinya.

Sekali lagi Alec ditendang, dan kali ini ia berguling dengan waspada, siap dengan segala sesuatu yang mungkin terjadi. Ia memandang ke atas, matanya mengerjap dalam kegelapan, namun betapa terkejutnya ia mendapati bahwa yang menyepaknya tadi bukanlah pemuda lain di barak itu, melainkan dua orang prajurit Pandesia. Mereka menendangi para pemuda yang ada di situ, menarik dan menyeret kaki mereka. Alec merasakan lengannya ditarik dengan kasar, disentakkan lalu didorong dan didesak keluar dari barak.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" gumamnya setengah sadar.

"Waktunya bertugas," kata prajurit itu membuyarkan kantuknya. "Kau tidak datang kemari untuk bersenang-senang."

Alec sebelumnya bertanya-tanya kapankah tiba gilirannya untuk berjaga di Benteng Api, namun ia tak menduga bahwa ia akan mendapat giliran pada tengah malam seperti ini, apalagi ia baru saja menempuh perjalanan yang panjang. Ia terhuyung-huyung kelelahan, tak tahu apakah ia bisa mampu menjalaninya. Mereka belum memberinya makan sejak tiba di sini, dan ia masih sangat kelelahan setelah perjalanan itu.

Di depannya, seorang pemuda pingsan, mungkin karena kelaparan atau kelelahan, entahlah—para prajurit itu meninjunya, menendangnya dengan kejam hingga ia tak sama sekali. Mereka meninggalkan pemuda itu tergeletak tak bernyawa di tanah yang bersalju, lalu pergi begitu saja.

Karena tak ingin bernasib seperti pemuda itu, Alec membulatkan tekadnya dan memaksa dirinya untuk bangun. Marco mengikuti di sampingnya.

"Tidurmu cukup?" Marco bertanya dengan senyum kecut.

Alec menggeleng muram.

"Jangan khawatir," ujar Marco. "Kita akan tidur saat kita mati nanti—dan kita akan segera mati."

Mereka berbelok dan mata Alec untuk sesaat silau oleh nyala Benteng Api, yang meskipun jaraknya masih seratus lima puluh kaki jauhnya namun hawa panasnya yang hebat telah terasa dari tempat mereka berada.

"Jika para troll datang, bunuhlah mereka," teriak seorang prajurit Kerajaan. "Namun jangan sampai kalian yang mati. Setidaknya sampai besok pagi. Kami ingin tempat ini dijaga dengan ketat."

Sekali lagi Alec didorong, maka ia dan sekelompok pemuda ditinggalkan berjaga di dekat Benteng Api, sedangkan para prajurit itu berbalik lalu pergi. Ia heran mengapa para prajurit itu memercayai mereka akan berjaga, bukannya melarikan diri—namun kemudian ia berbalik dan dilihatnya menara pengawas ada di mana-mana, dijaga oleh para prajurit bersenjatakan panah, dengan jari yang siap menarik pelatuknya, dan tak sabar menunggu para pemuda itu berusaha melarikan diri.

Alec berdiri saja di situ, tanpa baju zirah dan tanpa senjata, dan ia tak mengerti bagaimana bisa mereka berjaga dengan baik dengan kondisi seperti itu. Ia memandang ke sekeliling dan melihat beberapa pemuda lain menggenggam pedangnya.

"Dari mana kau dapatkan pedang itu?" Seru Alec pada seorang pemuda di dekatnya.

"Saat ada seseorang yang mati, ambillah senjatanya," jawab orang itu. "Tentu saja bila tak ada pemuda lain yang meninjumu untuk merebut senjata itu."

Marco mengernyit.

"Bagaimana bisa mereka berharap kita berjaga dengan baik tanpa senjata seperti ini?" tanyanya.

Salah satu pemuda dengan muka lusuh menyeringai.

"Orang-orang baru tidak akan mendapatkan senjata," katanya. "Mereka memang mengharapkan kalian mati. Jika kalian masih hidup setelah beberapa malam berjaga, kalian akan menemukan cara untuk mati."

Alec menatap Benteng Api dengan lidah-lidah api yang bergemeretak kencang, hawa panas menerpa wajahnya, dan ia mencoba tidak membayangkan ada apa di balik dinding benteng itu, yang mungkin tengah menunggu saat yang tepat untuk menerobos masuk.

"Lantas apa yang harus kita lakukan sembari menunggu?" tanya Alec. "Bagaimana jika para troll itu menerobos masuk?"

Salah satu pemuda itu tertawa.

"Bunuhlah mereka dengan tangan kosong!" teriaknya. "Mungkin kau akan selamat—namun mungkin juga tidak. Trol itu akan terbakar, dan bisa saja tubuhmu ikut terbakar bersamanya."

Para pemuda yang lain lantas berbalik dan menyebar, masing-masing bersiaga di tempatnya, dan Alec yang tak memegang senjata menoleh dan memandang Benteng Api dengan tatapan pasrah.

"Kita ini memang disiapkan untuk mati," katanya pada Marco.

Marco yang berdiri sejauh dua puluh kaki dari dirinya tengah memandangi Benteng Api dengan tatapan nanar.

"Dahulu, menjaga Benteng Api adalah sebuah panggilan mulia," katanya dengan suara bergumam. "Tapi itu sebelum Pandesia datang. Dahulu Sang Penjaga adalah para prajurit terhormat, dengan baju zirah dan senjata lengkap. Itulah mengapa aku mengajukan diri dengan sukarela. Namun kini...tampaknya semua telah berubah sama sekali. Prajurit Pandesia tak ingin para troll itu masuk—namun mereka tak mau menggunakan pasukannya sendiri untuk berjaga. Mereka menyuruh kita yang berjaga—dan mereka membiarkan kita mati di sini."

"Mungkin kita harus membiarkan para troll itu masuk, dan membiarkan mereka membunuh seluruh prajurit itu," kata Alec.

"Bisa saja," kata Marco. "Namun para troll itu akan menyerang Escalon dan membunuh keluarga kita juga."

Mereka terdiam membisu, hanya berdiri di situ sembari menatap Benteng Api. Alec tak tahu pasti berapa lama mereka menatapi Benteng Api. Alec hanya bisa merasa seolah ia tengah menatap kematiannya sendiri. Apakah yang tengah dilakukan oleh keluarganya saat ini? ia bertanya dalam hati. Apakah mereka tengah memikirkan dirinya? Apakah mereka peduli?

Alec hanyut dalam lamunan yang menyesakkan dada dan ia tahu bahwa seharusnya ia segera menata hatinya. Ia memaksa diri untuk memandang jauh, mengedarkan pandangan ke segala arah dan mengawasi hutan yang gelap. Hutan itu amat gelap dan membawa firasat buruk, sedangkan para prajurit yang berjaga di menara pengawas bahkan tak memedulikannya sama sekali. Para prajurit itu justru mengamati lekat-lekat para pemuda yang berjaga, dan pandangan mereka tak pernah lepas dari Benteng Api.

"Mereka sendiri takut untuk berjaga," kata Alec sembari memandang para prajurit itu. "Tapi mereka tak mengizinkan kita pergi. Dasar pengecut."

Belum juga Alec selesai berkata-kata, sekonyong-konyong ia merasakan sakit yang teramat sangat di punggungnya, hingga ia tersuruk ke depan. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, rusuknya dipukul dengan sebuah gada dan ia pun jatuh tersungkur ke tanah.

Ia mendengar suara culas, suara yang ia kenali:

"Sudah kukatakan, aku akan menemukanmu."

Alec belum sempat berbuat apa pun, dan ia ditarik dengan kasar dari belakang, lantas tubuhnya diseret mendekati Benteng Api. Mereka adalah kedua pemuda itu—pemuda yang berkelahi dengannya di dalam kereta dengan seorang temannya—dan Alec pun meronta-ronta, namun usahanya sia-sia belaka. Cengkeraman mereka amat kuat, dan ia pun diseret semakin dekat hingga wajahnya dapat merasakan betapa panasnya Benteng Api.

Alec mendengar suara orang lain meronta-ronta, dan ia pun menoleh lalu terkejut melihat Marco telah terikat dengan rantai; dua orang pemuda lain memeganginya dari belakang, menahan Marco agar tak dapat melepaskan diri. Mereka telah merencanakan semua ini. Mereka sungguh ingin melihat Alec dan Marco mati.

Alec terus meronta, namun ia tak berhasil bangkit berdiri. Mereka menyeretnya semakin dekat dengan Benteng Api, jaraknya tak sampai sepuluh kaki lagi dan ia semakin merasakan hawa panasnya hingga kulitnya terasa sakit, seolah wajahnya meleleh. Dalam beberapa langkah lagi, wajahnya akan dibuat cacat seumur hidup—itu pun kalau ia tak mati.

Alec meronta sekuat tenaga, namun kedua pemuda itu memeganginya dengan sangat erat hingga ia tak mampu melepaskan diri.

"TIDAAAK!" teriaknya.

"Saatnya pembalasan dendam," bisik pemuda itu di telinganya.

Lanta sekonyong-konyong terdengar pekik yang keras, dan Alec terkejut bukan kepalang karena pekikan itu bukanlah suaranya. Cengkeraman di lengannya mengendur dan seketika itu juga Alec menjauh dari Benteng Api. Dalam sekejap, ia tertegun melihat cahaya yang membuncah dari dalam api, dan seketika itu juga sesosok mahkhluk menyeruak dari dalam kobaran Benteng Api dengan tubuh terbakar, lalu menerkam pemuda yang ada di sampingnya dan membantingnya ke tanah.

Troll dengan tubuh yang masih terbakar itu berguling-guling di tanah dengan pemuda tadi, lalu menggigit tenggorokannya. Pemuda itu pun terpekik dan mati seketika.

Troll itu menoleh dan memandang dengan liar, matanya yang besar dan merah beradu pandang dengan mata Alec. Alec pun gentar. Api masih membakar tubuhnya, dan troll itu bernafas megap-megap lewat mulutnya; taringnya masih meneteskan darah, dan ia memandang dengan tatapan bernafsu untuk membunuhnya, seperti seekor binatang liar.

Alec masih berdiri ketakutan, ia tak dapat menggerakkan kakinya.

Pemuda yang satunya lagi berlari, dan si troll yang melihatnya kabur pun berbalik lalu menerkamnya; beruntunglah Alec. Dengan satu lompatan, troll itu berhasil menangkap pemuda tadi; meski tubuhnya masih terbakar api, namun ia tetap menggigit lehernya. Pemuda itu menjerit, dan melayanglah nyawanya.

Marco menabrak kedua pemuda yang masih tertegun itu, lalu menarik rantai dari tangan mereka dan mengayunkannya berputar-putar, menghantam wajah salah seorang pemuda itu dan selangkangan pemuda yang satunya lagi; keduanya pun roboh.

Lonceng mulai dibunyikan di menara-menara pengawas dan segera saja kekacauan pecah. Para pemuda berlarian dari seluruh penjuru Benteng Api untuk melawan troll itu. Mereka menombaknya, namun kebanyakan dari para pemuda tak berpengalaman itu hanya ketakutan dan tak berani mendekatinya. Troll itu pun balas merebut sebuah tombak dan menyeret seorang pemuda, meremasnya dengan kuat dan membakar tubuhnya, seiring pekik kesakitan pemuda itu.

"Inilah kesempatan kita," bisik seseorang.

Alec menoleh dan melihat Marco berlari di sampingnya.

"Perhatian mereka tengah terpecah. Ini mungkin adalah satu-satunya kesempatan kita."

Marco memandang jauh ke depan dan Alec pun mengikuti arah pandangannya: hutan. Ia berniat melarikan diri.

Gelap dan menakutkan, hutan itu sungguh misterius. Alec sadar bahwa meskipun bahaya yang lebih besar mungkin akan mengancam mereka di sana, namun ia setuju bahwa perkataan Marco benar: inilah satu-satunya kesempatan mereka. Dan di sini pun hanya kematian yang akan menjemput mereka.

Alec mengangguk, dan tanpa banyak berkata-kata lagi, mereka berdua berlari secepat kilat, berlari menjauh dari Benteng Api, menuju ke hutan.

Jantung Alec berdegup kencang karena tahu bahwa anak panah bisa bersarang di punggungnya kapan saja, dan ia kini berlari dengan mempertaruhkan nyawanya. Namun saat ia menoleh ke belakang, ia melihat semua orang tengah sibuk mengepung troll itu, dan perhatian mereka tengah teralihkan.

Sesaat kemudian, mereka berdua telah memasuki hutan, berselimut kegelapan; ia tahu mereka berdua tengah memasuki tempat yang jauh lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkannya. Ia sadar dirinya bisa saja mati di dalam hutan itu. Namun setidaknya, akhirnya ia telah bebas.

Vanusepiirang:
16+
Ilmumiskuupäev Litres'is:
10 oktoober 2019
Objętość:
334 lk 7 illustratsiooni
ISBN:
9781632914804
Allalaadimise formaat:
epub, fb2, fb3, ios.epub, mobi, pdf, txt, zip
Esimene raamat sarjas "Raja dan Penyihir"
Kõik sarja raamatud