Loe raamatut: «Bangkitnya Para Naga», lehekülg 17

Font:

BAB DUA PULUH EMPAT

Kyra berdiri di luar gerbang Volis, mengamati seluruh kawasan yang membeku karena turunnya salju; semburat merah tampak di langit, seakan matahari berjuang hendak menampakkan dirinya, dan Kyra bersandar pada sebuah dinding yang tengah dibangung, nafasnya tampak berat tatkala ia meletakkan sebuah batu. Kyra bergabung bersama dengan orang-orang lain menyusun batu-batu yang diambil dari sungai, untuk membangun sebuah dinding pertahanan mengelilingi kawasan Volis. Setelah seorang tukang bangunan di sampingnya mengoleskan adukan semen, ia menata batu-batu itu satu persatu. Kini, dengan lengannya yang gemetar kelelahan, ia perlu beristirahat.

Kyra bekerja bersama ratusan orang lain, berbaris di sepanjang dinding, membangun tembok itu agar lebih tinggi, dengan fondasi yang lebih dalam, demi menambahkan lapisan pertahanan mengelilingi tanggul. Sementara beberapa orang lain di balik tembok itu bekerja dengan sekop mereka, menggali parit-parit baru, dan sisanya menggali kubur untuk para prajurit yang tewas. Kyra tahu bahwa semua ini sia-sia belaka, tembok itu takkan sanggup menahan banyaknya pasukan Pandesia saat mereka menyerbu nanti; apa pun yang mereka lakukan, toh mereka akan mati juga di tempat ini. Mereka semua pun sadar akan hal itu. Namun mereka tetap membangunnya juga. Setidaknya ada sesuatu untuk dikerjakan, agar merasa seolah mereka mampu tetap tenang meski tengah menghadapi kematian.

Kyra beristirahat, bersandar pada dinding itu, memandang ke sekitar dan bertanya-tanya dalam hatinya. Saat ini keadaan masih sangat tenang, salju yang turun meredam segala suara yang timbul, seakan hanya ada kedamaian di dunia ini. Namun ia sadar bahwa kenyataannya berbeda; ia tahu bahwa pasukan Pandesia berada di suatu tempat entah di mana, dan mereka tengah bersiap-siap untuk menyerbu. Ia tahu bahwa pasukan itu akan kembali lagi seiring bunyi derap langkah yang menulikan telinga, dan mereka akan menghancurkan segala sesuatu yang ia cintai. Kyra mendapati bahwa ia tengah menyaksikan sebuah ilusi: suasana nan tenang sebelum badai menerjang. Betapa sulit ia memahami bagaimana dunia bisa begitu tenang dan begitu sempurna pada satu saat—dan dipenuhi oleh penghancuran dan kekacauan di saat yang lain.

Kyra menoleh dan melihat orang-orang itu menghentikan pekerjaan yang telah mereka jalani sepanjang hari itu, meletakkan tajak dan sekopnya karena hari mulai gelap, lantas mereka pulang ke rumah masing-masing. Asap membumbung dari cerobong, lilin-lilin dinyalakan dekat jendela, dan Volis tampak sangat nyaman, sangat aman, seolah tak tersentuh oleh dunia luar. Ia kagum akan segala bayangan itu.

Tatkala ia berdiri di situ, yang ia dengar hanyalah suara ayahnya yang terus terngiang di telinga, tentang permintaannya agar Kyra segera meninggalkan Volis saat itu juga. Ia berpikir tentang pamannya yang belum pernah sekali pun ia temui, tentang perjalanan yang harus ia tempuh, menyisir wilayah Escalon, melintasi Hutan Akasia, dan menuju ke Menara Ur. Ia terpikir akan ibunya, tentang rahasia yang disembunyikan darinya. Ia membayangkan pamannya melatih dirinya agar menjadi lebih kuat—dan semua itu membuatnya bersemangat.

Lantas tatkala ia berbalik dan memandang semua orang itu, ia merasa bahwa ia tak sanggup meninggalkan mereka menjelang pertempuran seperti ini, meskipun dengan begitu nyawanya akan selamat. Itu bukanlah dirinya.

Tiba-tiba, terompet dibunyikan perlahan dengan suara yang rendah, menandai bahwa waktu bekerja telah usai.

"Malam telah tiba," kata seorang tukang bangunan yang berdiri di sebelahnya sembari meletakkan tajaknya. "Tak banyak yang bisa kita kerjakan saat gelap. Mereka hendak pulang untuk makan. Marilah kita pulang," ujarnya seiring semua orang itu berbalik dan berjalan menuju ke jembatan melewati pintu gerbang.

"Sebentar lagi," kata Kyra; ia belum ingin pulang, ia masih ingin menikmati kedamaian dan ketenangan itu. Kyra selalu merasa senang saat ia tinggal seorang diri di luar rumah.

Leo mendengking dan menjilat-jilat bibir.

"Ajaklah Leo bersamamu—ia kelaparan."

Leo tampaknya paham akan kata-kata Kyra, karena ia segera melompat mengikuti si tukang bangunan itu, sedangkan Kyra sendiri masih belum selesai berbicara; tukang bangunan itu tertawa dan pulang bersama Leo menuju ke benteng.

Kyra berdiri di luar benteng; matanya terpejam mengabaikan segala suara itu, dan ia larut dalam pikirannya. Akhirnya, suara denting palu pun berhenti. Akhirnya, ia menikmati kedamaian yang sejati.

Ia memandang ke sekeliling dan menatap ke kaki langit, menatap hutan yang mulai gelap, awan pekat yang bergulung-gulung menutup semburat merah cahaya matahari; dan benaknya terus bertanya-tanya. Kapankah musuh akan datang? Sebanyak apakah jumlah mereka nanti? Seperti apakah rupa pasukan itu?

Seketika itu juga, ia terkejut mendapati sekelebat gerakan di kejauhan. Ada sesuatu yang tertangkap oleh matanya, dan ia pun melihat seorang penunggang kuda yang lambat laun tampak makin jelas, muncul dari dalam hutan dan menyusuri jalan utama menuju ke benteng mereka. Tak sadar, Kyra mengambil dan menggenggam busurnya; ia menyiapkan diri, mengamati apakah orang itu adalah seorang pengintai yang diutus oleh pasukan musuh untuk membawa berita.

Namun saat orang itu mendekat, Kyra mengendurkan genggaman tangannya dan lega karena ia ternyata mengenali orang itu: ia adalah salah seorang anak buah ayahnya. Maltren. Ia memacu kudanya dengan kencang sembari menuntun tali kekang seekor kuda tak berpenunggang di sebelahnya. Benar-benar sebuah pemandangan yang ganjil.

Maltren tiba-tiba berhenti di depan Kyra dan memandangnya dengan raut muka tegang, ia tampaknya ketakutan; Kyra tak mengerti apa yang tengah terjadi.

"Apa yang terjadi?" tanya Kyra dengan gugup. "Apakah pasukan Pandesia telah tiba?"

Maltren duduk, nafasnya tersengal-sengal dan menggelengkan kepala.

"Adikmu," kata Maltren. “Aidan.”

Jantung Kyra sontak berdegup kencang saat Maltren menyebut nama adiknya, orang yang paling ia kasihi di dunia ini. Kyra pun seketika waspada.

"Ada apa,?" desak Kyra. "Apa yang terjadi padanya?"

Maltren masih bernafas megap-megap.

"Adikmu terluka parah," ujarnya. "Ia memerlukan bantuan."

Jantung Kyra pun berdegup makin kencang. Aidan? Terluka? Pikirannya dipenuhi oleh berbagai macam bayangan—namun yang jelas, ia merasa kebingungan.

"Hah?" tanyanya. "Apa yang ia lakukan di dalam hutan? Kupikir ia berada di dalam benteng, menyiapkan makan malam?"

Maltren menggeleng.

"Ia pergi bersama kedua kakakmu," katanya. "Berburu. Ia terjatuh dengan keras dari atas kudanya—kakinya patah."

Kyra membulatkan tekadnya. Terdorong oleh gejolaknya, ia bahkan tak sempat berpikir panjang lagi; ia langsung berlari dan menunggangi kuda yang dituntun Maltren itu.

Jika saja ia mau bersabar sejenak untuk menenangkan diri dan memeriksa benteng, maka ia akan mendapati bahwa Aidan baik-baik saja di dalam sana. Namun karena terdorong oleh keadaan genting itu, ia bahkan tak sempat menanyai Maltren lebih lanjut.

"Antarlah aku ke sana," kata Kyra.

Mereka berdua berpacu bersama di atas kuda masing-masing, meninggalkan Volis di tengah gelapnya malam, masuk ke dalam hutan.

*

Kyra dan Maltren berpacu secepat kilat menyusuri jalan, melintasi deretan perbukitan, masuk ke dalam hutan; nafasnya terengah-engah tatkala tumitnya menyepak kuda itu agar berlari kencang, ia tak sabar ingin segera menyelamatkan Aidan. Jutaan mimpi buruk membayangi benaknya. Bagaimana kaki Aidan bisa patah? Mengapa pula kedua kakaknya itu mengajaknya berburu di dalam hutan saat malam menjelang, saat seluruh anak buah ayahnya bahkan dilarang meninggalkan benteng? Semua itu terasa tak masuk akal baginya.

Mereka pun tiba di tepi hutan, dan saat Kyra hendak masuk ke sana, ia bingung melihat Maltren tiba-tiba menghentikan laju kudanya. Kyra pun sekonyong-konyong berhenti di samping Maltren dan melihatnya turun dari kuda. Kyra ikut turun juga dari kudanya; kedua ekor kuda itu terengah-engah, dan mengikuti mereka dengan patuh, berhenti di tepi hutan.

"Mengapa kau berhenti?" tanya Kyra sembari bernafas dengan berat. "Bukankah Aidan ada di dalam hutan?"

Kyra memandang ke sekeliling, dan seketika itu pula ia tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tak beres—lantas sekonyong-konyong, ia terkejut melihat Tuan Gubernur muncul dari dalam hutan, diikuti oleh dua lusin pasukannya. Ia mendengar saljur bergemerisik di belakangnya, dan ia berputar lalu melihat selusin pasukan lain mengepungnya; mereka semua membidikkan panah ke arah Kyra, dan salah satu dari mereka merebut tali kekang kuda yang ia tunggangi. Darahnya terkesiap saat menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap.

Ia menatap Maltren dengan marah, menyadari bahwa Maltren telah berkhianat.

"Mengapa?" tanya Kyra, ia muak melihat Maltren. "Kau adalah anak buah ayahku. Mengapa kau melakukan ini?"

Tuan Gubernur berjalan mendekati Maltren dan memberikan sekantung penuh emas ke tangan Maltren, sedangkan Maltren hanya dapat memandang dengan penuh sesal.

"Demi emas," kata Tuan Gubernur seraya berpaling padanya; senyum licik tersungging di bibirnya, "kau akan mengerti betapa pria sudi melakukan apa pun yang kau inginkan. Maltren akan menjadi kaya untuk selamanya, lebih kaya daripada ayahmu, dan ia akan terselamatkan dari kematian yang melanda seisi bentengmu."

Kyra melotot pada Maltren; ia benar-benar tak dapat memercayai semua ini.

"Dasar kau pengkhianat," katanya.

Maltren balas menatap Kyra.

"Justru aku adalah juru selamat bagi kita semua," balasnya. "Akibat ulahmu, mereka semua akan membantai seisi benteng. Berkat diriku, Volis akan terselamatkan. Aku membuat kesepakatan dengan mereka. Berterima kasihlah padaku karena telah menyelamatkan nyawamu." Maltren tersenyum puas. "Dan kurasa, yang harus kulakukan adalah menyerahkan dirimu."

Kyra sekonyong-konyong merasakan tangan-tangan prajurit itu menariknya dari belakang, dan tubuhnya serasa melayang di udara. Ia melawan dan meronta-ronta, namun ia bahkan tak dapat bergerak sama sekali karena tangan dan kakinya terikat, lantas ia pun dilemparkan ke belakang kereta.

Sesaat kemudian, jeruji besi ditutup dengan keras dan kereta itu pun melaju, terlonjak-lonjak melintasi jalanan di tepi pedesaan. Ia sadar, ke mana pun mereka membawanya, takkan ada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya. Tatkala kereta itu masuk semakin jauh ke dalam hutan yang gelap tak terkira, ia sadar bahwa hidupnya kini telah berakhir.

BAB DUA PULUH LIMA

Raksasa itu terkapar di depan Vesuvius, terikat dengan ratusan helai tambang, dikekang oleh seratus troll, dan Vesuvius berdiri sangat dekat dengan taringnya, memandanginya dengan terkagum-kagum. Makhluk itu mengangkat kepalanya, menyeringai, berusaha menerkam dan membunuh Vesuvius—namun ia tak sanggup bergerak.

Vesuvius meringis kegirangan. Ia bangga mampu menyiksa makhluk yang tak berdaya lagi itu, dan lebih dari itu, ia senang melihat makhluk apa pun menderita karena terperangkap.

Dan melihat raksasa itu terikat di gua miliknya, di wilayah kekuasaan Vesuvius, membuat dirinya amat senang. Bisa berdiri sedekat itu dengannya membuat Vesuvius merasa sangat berkuasa, membuatnya merasa seolah tak ada sesuatu pun di dunia ini yang tak dapat ia taklukkan. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, mimpinya bisa terwujud. Akhirnya, ia akan dapat meraih cita-citanya seumur hidup, yaitu membangun sebuah terowongan untuk dilewati pasukannya menuju ke Benteng Api dan ke wilayah Barat.

Vesuvius menyeringai pada raksasa itu.

"Kau tahu, dirimu tak sekuat aku," katanya sembari berdiri di dekatnya. "Tak ada seorang pun yang sekuat diriku."

Raksasa itu mengaum dengan suara mengerikan, lalu meronta-ronta meskipun sia-sia. Para troll pun memegangi raksasa yang berkelojotan kesana-kemari, tambang-tambang pengikatnya tertarik kencang, namun tak sampai terlepas. Vesuvius tahu bahwa waktu mereka tak banyak. Jika mereka ingin mewujudkannya, maka sekaranglah saatnya.

Vesuvius berpaling dan mengamati gua itu: ribuan pekerja pun berhenti dan memandang raksasa itu. Di ujung sanalah terletak terowongan yang belum kunjung selesai, dan Vesuvius paham bahwa itu akan jadi bagian yang sulit. Ia akan memaksa raksasa itu menggalinya. Ia harus mendorong raksasa itu memasuki terowongan dan menyuruhnya menghancurkan bebatuan itu. Namun bagaimana bisa?

Vesuvius berdiri memutar otak, hingga akhirnya tercetuslah sebuah gagasan.

Ia berpaling pada raksasa itu dan menghunus pedangnya; bilahnya berkilat tertimpa cahaya obor di dalam gua.

"Akan kupotong tambang yang mengikatmu," kata Vesuvius padanya, "karena aku tak ingin menakutimu. Kau akan bebas, namun kau harus mengikuti perintahku. Kau harus menghancurkan bebatuan di dalam terowongan itu, dan kau tak boleh berhenti sebelum kau sampai di bawah Benteng Api di Escalon."

Raksasa itu mengaum lagi tanda menolak.

Vesuvius berbalik dan memandangi pasukan troll itu yang tengah menantikan perintah darinya.

"Saat kutebaskan pedangku," teriaknya dengan suara lantang, "kalian harus memotong tambang-tambang itu sekaligus. Lalu kalian harus mendesaknya dengan pedang kalian hingga raksasa itu mencapai terowongan."

Para troll itu balik menatapnya dengan pandangan gugup, tampak jelas bahwa mereka semua takut dengan gagasan untuk melepas raksasa itu. Vesuvius pun takut, meski ia tak memperlihatkannya. Namun ia pun tahu bahwa tak ada cara lain—saat-saat seperti ini memang harus tiba juga akhirnya.

Maka Vesuvius tak membuang-buang waktu lagi. Ia melangkah maju dengan mantap, mengangkat pedangnya lalu menebas tambang besar yang mengikat leher raksasa itu.

Segera saja ratusan pasukannya maju, mengangkat pedang mereka dan menebas tambang-tambang yang lain, dan suara tambang yang terlecut ke udara pun terdengar nyaring di seluruh gua.

Vesuvius bergegas mundur berlindung, namun ia melakukannya dengan tak kentara karena tak ingin anak buahnya melihat ia ketakutan. Ia menyelinap di balik sebaris pasukannya, di balik bayang-bayang batu-batu gua, di luar jangkauan raksasa yang telah bangkit berdiri itu. Ia harus melihat terlebih dahulu apa yang akan terjadi.

Raungan yang mengerikan bergema di seluruh ngarai saat raksasa itu bangkit, marah dan menyabetkan cakarnya ke segala arah. Ia menyambar empat troll di masing-masing tangannya, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melemparkan mereka. Para troll itu terlontar beterbangan di dalam gua hingga membentur dinding di seberang dan terjatuh, terkulai tak bernyawa.

Raksasa itu mengepalkan kedua tangannya, mengangkatnya ke atas kepala dan sekonyong-konyong menghentakkannya ke tanah bagai palu godam, mengincar para troll yang berlari pontang-panting. Mereka berlarian menyelamatkan diri, namun tampaknya terlambat sudah. Raksasa itu menghancurkan mereka bagai semut, membuat seisi gua bergetar setiap kali ia menghantamkan tangannya.

Tatkala para troll berlarian di antara kedua kaki raksasa itu, ia mengangkat kakinya dan melompat, menginjak mereka hingga gepeng.

Ia mengamuk ke segala arah, membantai para troll itu. Tak satu pun troll yang mampu selamat dari amarahnya.

Vesuvius menyaksikan semua itu dengan ketakutan yang memuncak. Ia memberi isyarat pada komandannya, dan seketika itu juga terompet ditiup.

Sesuai aba-aba, ratusan prajuritnya keluar dari persembunyian, tombak-tombak panjang dan cemeti dalam genggaman tangan mereka, dan semua bersiap untuk mendorong dan mendesak raksasa itu. Mereka mengepungnya, menyerang dari segala arah, berusaha mati-matian untuk menggiring raksasa itu ke dalam terowongan.

Namun Vesuvius gentar melihat rencananya gagal di depan matanya sendiri. Raksasa itu mundur lalu menendang selusin prajurit sekaligus; ia lalu mengayunkan lengannya memutar dan melibas lima puluh prajurit lainnya, menghempaskan mereka ke dinding bersama dengan tombak-tombaknya. Ia menginjak para prajurit yang lain, merebut cemeti mereka, dan membantai begitu banyak prajurit dalam sekejap hingga tak seorang pun sanggup mendekat padanya. Seluruh prajurit itu tak banyak berarti di hadapan makhluk ini, meskipun jumlah mereka banyak dan semuanya bersenjata lengkap. Pasukan Vesuvius pun kocar-kacir di hadapannya.

Vesuvius berpikir dengan cepat. Ia tak boleh membunuh raksasa itu—ia membutuhkannya hidup-hidup, ia membutuhkan tenaganya. Tetapi ia harus mambuat raksasa itu patuh padanya. Namun bagaimana bisa? Bagaimana ia bisa mendorongnya masuk ke terowongan?

Tiba-tiba tercetuslah sebuah gagasan: jika ia tak bisa mendorongnya, maka mungkin ia bisa membujuknya.

Vesuvius berpaling dan menarik troll di sebelahnya.

"Hei kau," perintahnya. "Berlarilah ke dalam terowongan. Pastikan raksasa itu melihatmu."

Prajurit itu menatap dengan mata terbelalak ketakutan.

"Tapi, Tuanku Yang Mulia, bagaimana jika ia mengejarku?"

Vesuvius menyeringai.

"Memang itulah tujuannya."

Prajurit itu masih berdiri ketakutan di situ, terlalu takut untuk menjalankan perintah itu—dan Vesuvius pun seketika menusuk jantungnya. Lantas ia menghampiri seorang prajurit lain dan menghunuskan belati di tenggorokannya.

"Kau boleh memilih mati di sini oleh belatiku ini—atau kau bisa memilih berlari ke dalam terowongan dan punya kesempatan selamat," kata Vesuvius. "Pilihlah."

Vesuvius menekan belati itu semakin dekat dengan tenggorokannya, dan troll itu yang menyadari bahwa Vesuvius tak main-main dengan omongannya pun segera berbalik dan berlari.

Vesuvius memandanginya berlari melintasi gua, berkelit ke kanan dan ke kiri di tengah kekacauan itu, di antara mayat-mayat prajurit troll yang bergelimpangan, melewati kedua kaki raksasa itu dan melesat ke dalam mulut terowongan.

Raksasa itu pun melihatnya, lalu berusaha menyambar prajurit itu namun meleset. Dengan masih diliputi amarah dan perhatiannya tertuju pada prajurit troll yang melarikan diri darinya, raksasa itu segera mengejarnya, persis seperti yang diharapkan Vesuvius. Ia lari mengejar melintasi gua itu, dan tiap langkahnya membuat dinding gua bergetar.

Troll itu pun berlari menyelamatkan diri dan akhirnya masuk ke dalam terowongan yang besar di depannya. Meskipun terowongan itu lebar dan tinggi, namun terowongan itu tak seberapa panjang; jauhnya hanya sekitar lima puluh kaki meskipun telah bertahun-tahun digali, dan saat troll itu memasukinya, segera saja ia tiba di ujungnya yang buntu, terhalang dinding batu.

Raksasa yang marah mengejarnya dan tak sedikit pun memelankan larinya. Ia menyambar troll itu dengan tinjunya dan cakarnya yang besar. Troll itu merunduk, dan sambaran raksasa itu meleset, menghantam bebatuan. Tanah bergetar, diikuti oleh bunyi gemuruh, dan Vesuvius melihat dengan takjub saat dinding batu itu runtuh sedikit demi sedikit, batu-batu berguguran seiring debu yang mengepul.

Jantung Vesuvius berdegup semakin kencang. Itu yang ia tunggu-tunggu. Persis seperti itulah yang diimpikannya, persis seperti yang dibutuhkannya, yang telah ia bayangkan sejak ia memutuskan untuk mencari raksasa itu. Raksasa itu menyambar dan lagi-lagi menghantam bongkahan batu, merontokkan dinding bebatuan sejauh lima puluh kaki dengan sekali sambaran tangannya—jauh lebih panjang daripada yang mampu digali oleh anak buah Vesuvius selama ini.

Vesuvius girang bukan alang kepalang karena melihat bahwa rencananya itu berjalan mulus.

Namun kemudian raksasa itu berhasil menangkap si prajurit troll, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dan menggigit kepalanya hingga lehernya putus.

"TUTUP TEROWONGAN ITU!" perintah Vesuvius sembari menyeruak dan mengarahkan para prajuritnya.

Ratusan troll yang telah bersiaga segera saja maju dan mulai menimbunkan bebatuan Altusia yang telah disiapkan oleh Vesuvius di depan mulut terowongan, batu-batu yang sangat besar hingga tak ada satu pun makhluk yang mampu menghancurkannya, tak juga raksasa ini. Bunyi batu-batu yang saling bertumpuk membahana saat Vesuvius menyaksikan terowongan itu perlahan tertutup.

Raksasa yang melihat mulut terowongan itu tertutup pun berbalik dan menerjangnya.

Namun mulut terowongan itu tertutup rapat, tepat sesaat sebelum raksasa itu mencapainya. Seisi gua bergetar karena tumbukan raksasa itu—namun untunglah batu-batu itu bergeming.

Vesuvius pun tersenyum; raksasa itu terjebak di dalamnya. Tepat seperti yang diinginkan oleh Vesuvius.

"Masukkan satu orang lagi!" titah Vesuvius.

Seorang budak pun didorong dan dicambuk oleh para prajurit yang memeganginya, berulang kali hingga mencapai sebuah celah kecil di antara tumpukan batu-batu besar itu. Budak yang tampaknya menyadari apa yang akan terjadi pun menolak, meronta-ronta melepaskan diri; namun para prajurit memukulinya dengan ganas, hingga akhirnya mereka berhasil menyelipkan budak itu melewati celah, hingga dengan sekali dorongan lagi maka tubuh budak itu akan masuk sepenuhnya.

Dari dalam terowongan, terdengarlah pekik tertahan budak itu, ia berlari menyelamatkan diri, menghindari kejaran si raksasa. Vesuvius berdiri dan menyimak dengan riang gembira saat ia mendengar auman marah raksasa yang terjebak, menyambar-nyambar dan menghantam bebatuan, memperdalam terowongan itu untuk Vesuvius.

Sambaran demi sambaran dan terowongan itu pun tergali semakin dalam—Vesuvius tahu bahwa seiring setiap sambaran tangannya, terowongan itu akan tergali semakin dekat dengan Benteng Api, dengan Escalon. Ia akan menjadikan seluruh umat manusia sebagai bangsa budak.

Akhirnya, kejayaan pun akan diraihnya.

Vanusepiirang:
16+
Ilmumiskuupäev Litres'is:
10 oktoober 2019
Objętość:
334 lk 7 illustratsiooni
ISBN:
9781632914804
Allalaadimise formaat:
epub, fb2, fb3, ios.epub, mobi, pdf, txt, zip
Esimene raamat sarjas "Raja dan Penyihir"
Kõik sarja raamatud