Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

"Tunggu!" teriak Kyra.

Ia tahu bahwa ia harus menghentikan pelayan itu. Jika ia berhasil kembali ke markasnya, maka ia akan melaporkan peristiwa ini kepada Tuan Gubernur. Mereka semua akan mengetahui bahwa pembantaian ini adalah perbuatan Kyra, dan ayahnya serta seluruh rakyatnya akan menanggung akibatnya.

Kyra memungut busurnya, membidik dan menunggu hingga ia dapat mengincar sasarannya dengan jelas. Akhirnya, pemuda itu mencapai tanah lapang, maka saat awan mendung tersibak dan seberkas cahaya bulan menerangi malam, kesempatan pun datang bagi Kyra.

Namun ia tak sanggup melepaskan anak panahnya. Toh pemuda itu tak melakukan apa-apa, dan batinnya mengatakan bahwa tak seharusnya ia membunuh seseorang yang tak bersalah.

Kyra menurunkan busurnya dengan tangan yang gemetar sembari memandangi pemuda itu pergi menjauh, ia cemas karena sadar bahwa membiarkannya pergi berarti adalah siap menghadapi hukuman mati. Pastilah perang akan pecah karena masalah ini.

Dengan si pelayan yang berhasil melarikan diri, Kyra sadar bahwa ia tak punya banyak waktu lagi. Ia harus segera keluar dari hutan dan kembali ke benteng ayahnya, lalu memperingatkan seisi benteng tentang apa yang baru saja terjadi. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan, untuk memperkuat pertahanan benteng—atau untuk berlari menyelamatkan diri. Ia merasa sangat bersalah, namun sekaligus merasa sangat bertanggung jawab atas hal ini.

Namun Kyra tak dapat melangkahkan kakinya. Ia malah berdiri saja di sana dan terpana saat ia melihat naga itu mengepakkan sayapnya yang masih utuh lalu balas menatap mata Kyra. Ia merasa bahwa ia harus menemani naga itu.

Kyra berjalan dengan cepat menembus salju, menyusuri tepian sungai, menuju ke bibir sungai yang deras, hingga ia tiba di dekat naga itu. Naga itu sedikit mengangkat lehernya dan memandang Kyra; mata mereka beradu dan naga itu memandangnya dengan tatapan yang tak ia mengerti maksudnya. Kyra menduga mungkin naga itu hendak mengungkapkan terima kasihnya—namun sekaligus menunjukkan kemarahannya. Kyra tak mengerti.

Ia berjalan mendekat dengan Leo yang menggeram di sebelahnya, hingga jaraknya tinggal beberapa kaki saja dari naga itu. Nafasnya tercekat. Kyra masih tak percaya bahwa ia tengah berdiri sedekat ini dengan makhluk menakjubkan itu. Ia tahu betapa berbahayanya tindakan itu, ia sadar bahwa naga itu bisa membunuhnya kapan pun ia mau.

Kyra mengangkat tangannya perlahan dengan jantung yang berdegup kencang; meski ia tahu bahwa naga itu menunjukkan raut muka tak senang, namun ia mengulurkan tangannya dan menyentuh sisik-sisik naga itu. Kulitnya terasa begitu kasar, begitu tebal, begitu tua—rasanya bagaikan tengah kembali ke masa lalu. Tangannya gemetar saat ujung jemarinya membelai kulit naga itu, dan hawa dingin bukanlah penyebab ia gemetar.

Keberadaan seekor naga di tempat ini sungguh sebuah misteri, dan benaknya dipenuhi oleh jutaan pertanyaan.

"Apa yang membuatmu terluka?" tanya Kyra sembari membelai sisik-sisiknya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Terdengar semacam suara menggeram dari tenggorokan makhluk itu, dan Kyra pun menarik kembali tangannya karena takut. Ia tak dapat memahami makhluk ini, dan meskipun ia baru saja menyelamatkan nyawanya, tiba-tiba Kyra tersadar bahwa berdiri sedekat ini dengan makhluk itu adalah sebuah tindakan yang bodoh.

Naga itu memandang Kyra lalu perlahan mengangkat cakarnya yang tajam, lalu menempelkannya di tenggorokan Kyra. Kyra beridir terpaku, takut bukan kepalang, ia tak tahu apakah cakar-cakar itu akan menggorok lehernya.

Namun sesuatu berkilat di dalam mata naga itu, dan tampaknya ia berubah pikiran. Ditariknya kembali cakarnya, kemudian secepat kilat ia mengibaskannya.

Kyra merasakan rasa sakit yang menggigit di wajahnya dan ia berteriak saat cakar itu menggores pipinya, hingga darah mengucur dari sana. Memang itu hanyalah sebuah luka goresan, namun Kyra yakin goresan itu cukup dalam hingga akan meninggalkan bekas luka.

Kyra memegang luka di pipinya, darah segar menempel ke telapak tangannya, dan ia merasakan sebuah pengkhianatan yang keterlaluan serta kebingungan yang amat sangat. Ia kembali memandang mata kuning menyala naga itu yang memancarkan perlawanan, dan Kyra benar-benar tak memahami makhluk satu ini. Apakah naga itu membencinya? Apakah ia keliru karena telah menyelamatkan nyawanya? Mengapa naga itu hanya menggoreskan luka di pipinya, padahal ia bisa saja membunuh Kyra?

"Siapakah dirimu sebenarnya?" tanya Kyra lirih, ia masih ketakutan.

Ia mendengar sebuah jawaban, sebuah suara yang tua, bergema di dalam mata batinnya:

Theos.

Ia terkejut bukan kepalang. Ia yakin bahwa suara itu adalah suara naga di depannya.

Kyra menunggu, berharap suara itu akan terdengar lagi—namun tiba-tiba, tanpa isyarat Theos memecah keheningan malam dengan lengkingannya, ia mendongakkan kepala dan meronta hendak menjauh dari Kyra. Naga itu mengepak-ngepakkan sayap dan berputar-putar dengan liar, berusaha sekuat tenaga untuk kembali terbang.

Kyra tak habis pikir dengan tingkahnya.

"Tunggu!" teriak Kyra. "Kau terluka! Biarkan aku menolongmu!"

Miris rasanya melihat naga itu susah payah mengepakkan sayap, dengan darah mengucur dari lukanya, dan sayapnya yang sebelah tak dapat ia gerakkan. Tubuhnya demikian besar hingga tiap kepakan sayap membuat salju berhamburan, mengguncangkan tanah, berdebam dan membuat memecah keheningan malam yang bersalju seperti ini. Ia berusaha keras untuk terbang, namun ia tak mampu.

"Hendak pergi ke mana kau ini?" teriak Kyra.

Theos kembali mengepakkan sayapnya, dan kali ini ia terjungkal di tepi sungai yang curam dan berselimut salju; ia berguling-guling tak terkendali, tak mampu menguasai dirinya. Ia terus berguling tepat ke arah arus yang deras.

Kyra menyaksikannya dengan tegang, nyaris tak dapat berbuat apa pun saat naga itu tercebur ke dalam air sungai yang mengalir deras di bawah sana.

"TIDAK!" teriaknya sembari berlari menghampiri.

Namun ia tak dapat berbuat apa-apa. Arus yang deras menghanyutkan Theos, ia menggapai-gapai, menjerit, hanyut terbawa arus sungai yang menembus makin jauh ke dalam hutan, hingga tiba di kelokan dan menghilang dari pandangan.

Kyra menyaksikan naga itu hilang dari pandangannya dan hatinya terasa remuk redam. Ia telah mempertaruhkan segalanya, mempertaruhkan hidupnya, nasib rakyatnya, demi makhluk ini—dan kini naga itu telah lenyap. Lantas untuk apakah semua ini? Apakah ini nyata adanya?

Kyra berpaling dan memandang ke sekeliling, melihat lima mayat yang bergelimpangan, masih terkapar di atas salju; ia memandang Leo yang terluka di sampingnya; ia mengulurkan tangan dan merasakan perih di pipinya, darah masih mengucur—maka ia sadar bahwa ini memang nyata. Ia selamat dari perjumpaan dengan seekor naga. Ia telah membunuh lima orang Pasukan Pengawal.

Ia sadar, setelah ini hidupnya takkan pernah sama lagi.

Kyra melihat jejak kaki kuda menuju ke dalam hutan, dan ia teringat akan pemuda yang melarikan diri untuk melapor kepada kawanannya. Ia tahu bahwa para Pasukan Pengawal akan menyerang rakyatnya.

Kyra berpaling lalu berlari secepat mungkin ke dalam hutan, Leo mengikuti di sampingnya, dan ia bertekad harus segera kembali ke volis, untuk memperingatkan ayahnya serta semua orang di dalam benteng—jika masih ada waktu baginya.

BAB DUA BELAS

Vesuvius, Raja Para Troll dan Pemimpin Tertinggi Marda, berdiri di sebuah gua yang besar di bawah tanah, di atas sebuah balkon dari batu setinggi seratus kaki, dan ia memandang ke bawah, mengawasi hasil kerja pasukan troll di bawahnya. Ribuan troll bekerja di dalam cekungan besar yang berada di bawah tanah ini, menggepuk batu dengan beliung dan palu godam, mencungkil tanah dan bebatuan, dan suara berdenting bertalu-talu di udara. Deretan obor terpasang di dinding dan leleran lava melintang di permukaan lantai gua, menyala memancarkan cahaya, menerangi gua dan membuatnya hawa tetap hangat, sementara para troll berkeringat dan bernafas megap-megap kepanasan di bawah sana.

Vesuvius tersenyum lebar, wajahnya yang buruk tampak aneh, ganjil, dua kali lebih lebar dari ukuran wajah manusia umumnya, dengan dua buah taring yang panjang bagai gading, yang mencuat dari dalam mulutnya, serta mata merah seperti manik-manik yang senang melihat orang lain menderita. Ia ingin anak buahnya bersusah payah, bekerja lebih keras lagi, karena ia tahu bahwa hanya dengan kerja luar biasa berat maka ia dapat mewujudkan apa yang tak sanggup diwujudkan oleh ayahnya. Dengan tubuh dua kali lebih besar dari tubuh troll pada umumnya, dan tiga kali lebih besar dari tubuh manusia normal, badan Vesuvius sungguh berotot dan kasar, dan ia sadar bahwa dirinya berbeda, ia tahu bahwa ia dapat meraih apa pun yang yang tak dapat diraih oleh para pendahulunya. Ia telah merancang sebuah rencana yang sama sekali tak terbayangkan oleh para moyangnya, sebuah rencana yang akan membawa kejayaan bagi bangsanya untuk selamanya. Gua ini akan menjadi terowongan terbesar yang pernah ada, sebuah terowongan yang akan menembus ke bawah Benteng Api, menuju ke Escalon—dan seiring tiap denting palu, terowongan itu digali semakin dalam lagi.

Selama berabad-abad, belum pernah sekali pun terpikir oleh bangsanya bagaimana cara menembus Benteng Api secara bersamaan; segelintir troll memang berhasil menembus beberapa tempat di benteng itu, namun kebanyakan dari mereka mati dalam misi bunuh diri semacam itu. Yang diinginkan oleh Vesuvius adalah membawa serta seluruh pasukan troll menerobos benteng, serentak bersama-sama, untuk menghancurkan Escalon selama-lamanya. Ayahnya tak tahu bagaimana cara melakukannya, dan mereka pun lambat laun menjadi enggan, memilih menyerah untuk menjalani hidup di alam liar Marda. Namun tidak dengan dirinya. Ia, Vesuvius, jauh lebih cerdik daripada ayahnya, lebih tangguh, tekadnya lebih kuat—dan tentu lebih kejam. Suatu hari ketika ia tengah merenung, terbersit pikiran bahwa jika ia tak dapat menembus atau melewati Benteng Api, maka mungkin ia bisa menerobosnya dari bawah tanah. Dengan gagasan itu, maka ia segera mewujudkan rencananya dan tak pernah surut melakukannya; ia kerahkan ribuan pasukan dan budaknya untuk membangun sesuatu yang akan menjadi sebuah karya terbesar sepanjang sejarah kerajaan troll: yakni terowongan bawah tanah menembus Benteng Api.

 

Vesuvius memandang dengan puas saat salah satu mandornya mencambuk seorang budak dari bangsa manusia, seseorang yang mereka tangkap dari daerah Barat, yang dirantai bersama dengan ratusan budak lainnya. Orang itu berteriak dan tersungkur, dan ia terus dicambuk hingga ajal menjemputnya. Vesuvius menyeringai, senang melihat budak-budaknya yang lain bekerja lebih keras lagi. Para troll anak buahnya bertubuh dua kali lebih besar dari tubuh manusia, tampak lebih menakutkan pula, dengan otot-otot kekar dan muka mengerikan, seakan haus darah tanpa pernah terpuaskan. Ia tahu bahwa manusia-manusia yang menjadi budaknya ini adalah sasaran yang tepat untuk melampiaskan kekejaman mereka.

Namun saat melihat itu semua, Vesuvius toh masih tak habis pikir: tak peduli berapa pun banyaknya manusia yang dijadikan budak, berapa pun banyaknya pasukan troll yang ia kerahkan untuk bekerja, seberapa pun kerasnya mereka mencambuk para budak, seberapa pun seringnya mereka menyiksa atau membunuh seorang budak agar budak lainnya bekerja lebih keras, pekerjaan ini masih juga terasa terlalu lambat. Batu-batu itu seakan terlalu keras, dan pekerjaan yang harus diselesaikan terlalu berat. Dengan bekerja selambat itu, ia tahu bahwa mereka takkan pernah dapat menyelesaikan terowongan ini, dan impiannya untuk menyusup ke Escalon hanya akan tinggal impian.

Tentu saja, wilayah Marda masih cukup luas bagi mereka semua—namun bukan tempat seperti itulah yang diinginkan oleh Vesuvius. Ia ingin membunuh, menaklukkan seluruh umat manusia, merebut segala milik mereka, hanya demi bersenang-senang saja. Ia menginginkan semua itu. Dan ia tahu jika ia berhasil menembus ke sana, maka tinggal tunggu waktu saja bagi mereka untuk bisa merebut lebih banyak lagi.

"Tuanku Yang Mulia?" sebuah suara menyapanya.

Vesuvius berpaling dan melihat beberapa prajuritnya berdiri di situ, dengan balutan baju zirah hijau khas bangsa troll, bertahtakan lambang bangsa mereka—yakni kepala babi hutan dengan seekor anjing yang dikulumnya—melintang di bagian dada. Anak buahnya menundukkan kepala penuh hormat, dengan pandangan ke bawah, seperti yang diajarkan pada mereka jika tengah menghadap dirinya.

Vesuvius melihat para anak buahnya ini memegangi seorang prajurit troll yang mengenakan baju zirah compang-camping, dengan wajah berlumuran tanah dan debu, dengan sejumlah luka bakar di sana.

"Bicaralah," perintahnya.

Perlahan mereka mengangkat wajah dan memandang wajah tuannya.

"Dia kami tangkap di dalam wilayah Marda, di Hutan Selatan," lapor salah satu anak buahnya. "Ia kedapatan tengah kembali dari dalam Benteng Api."

Vesuvius memandangi tawanan yang tangannya terbelenggu itu, dan ia merasa sangat muak. Setiap hari ia memerintahkan anak buahnya untuk pergi ke arah barat Marda, untuk menyerang Benteng Api dan menembus ke seberang, ke Escalon. Jika anak buahnya itu berhasil, maka mereka diperintahkan untuk menebar ancaman kepada sebanyak mungkin manusia. Jika mereka berhasil melakukannya, maka perintah selanjutnya adalah mencari letak kedua Menara itu dan mencuri Pedang Api, senjata legendaris yang konon menjaga Benteng Api. Kebanyakan troll yang diutusnya tak pernah kembali dengan selamat—entah mereka terbunuh dalam usahanya menerobos Benteng Api, atau tewas oleh para pasukan di Escalon. Perintah itu adalah sebuah misi tunggal: mereka diperintahkan untuk jangan pernah kembali—kecuali jika mereka kembali dengan membawa serta Pedang Api.

Namun ada kalanya beberapa troll mencoba untuk diam-diam pulang, kebanyakan dari mereka telah gagal menembus Benteng Api, gagal menjalankan misi namun berupaya untuk pulang, menyelamatkan diri dengan kembali ke Marda. Vesuvius tak sudi mengampuni troll yang satu ini, yang ia anggap sebagai seorang pengkhianat.

"Berita apa yang kau bawa dari Barat?" tanyanya. "Apakah kau menemukan Pedang Api itu?" imbuhnya, meski ia telah dapat menebak jawabannya.

Prajurit troll itu tergagap, tampak ketakutan setengah mati.

Ia menggeleng perlahan.

"Tidak, Tuanku Yang Mulia," katanya dengan suara parau.

Vesuvius terdiam, penuh kesumat.

"Lantas mengapa kau kembali ke Marda?" selidiknya.

Troll itu hanya menundukkan kepala.

"Hamba disergap oleh begitu banyak manusia," katanya. "Beruntunglah hamba berhasil melarikan diri dan kembali kemari."

"Tapi mengapa kau kembali?" desak Vesuvius.

Prajurit itu memandangnya, ia tertegun dan gugup.

"Karena misi hamba telah berakhir, Tuanku Yang Mulia."

Vesuvius naik darah.

"Misimu adalah untuk mencari Pedang Api—sampai mati."

"Namun hamba berhasil menembus Benteng Api!" kata prajurit itu memohon. "Hamba telah membunuh banyak manusia! Dan hamba berhasil kembali!"

"Maka katakan padaku," kata Vesuvius tenang, sembari menghampirinya dan merangkul pundak prajurit troll itu, kemudian mengajaknya berjalan menuju ke bibir balkon batu tempat mereka berdiri. "Apakah kau kira setelah kembali kemari, maka aku akan membiarkanmu tetap hidup?"

Sekonyong-konyong Vesuvius memegang bagian belakang baju yang dikenakan troll itu, ia melangkah maju lalu melemparkannya dari bibir balkon.

Prajurit itu meronta dan menjerit-jerit semampunya, karena terhalang rantai yang membelenggunya. Semua budak di bawah seketika berhenti bekerja dan memandang ke atas, menyaksikan prajurit itu terjatuh. Tubuhnya terjatuh dari ketinggian seratus kaki dan akhirnya mendarat menghempas batu di bawahnya; darahnya muncrat ke mana-mana.

Semua pekerja memandang Vesuvius, dan ia balas menatap mereka; ia tahu bahwa ini akan menjadi peringatan bagi mereka yang gagal menjalankan titahnya.

Segera saja mereka semua kembali ke bekerja.

Vesuvius, yang masih diliputi amarah dan butuh melampiaskannya pada seseorang, berjalan meninggalkan balkon dan menuruni anak tangga dari batu yang dipahat pada dinding tebing, diikuti oleh anak buahnya. Ia ingin melihat langsung sejauh mana pekerjaan itu terselesaikan—dan saat ia turun ke sana, ia menduga bahwa ia akan menemukan budak menyedihkan yang akan dihajarnya.

Vesuvius berjalan menuruni tangga yang terpahat pada dinding batu hitam, meniti anak tangga demi anak tangga, hingga tiba di dasar gua yang besar ini, dengan hawa yang terasa kian panas seiring ia turun makin dalam. Lusinan prajurit membungkuk di belakangnya saat ia berjalan melintasi lantai gua, melewati leleran lava, di antara segerombolan manusia dan pekerja. Ketika ia lewat, ribuan prajurit dan budak menghentikan pekerjaannya dan menyingkir memberi jalan untuknya, sembari membungkukkan badan untuk menghormatinya.

Hawa terasa panas di situ; lantai dasar gua menjadi panas bukan hanya karena keringat manusia, namun juga karena lelehan lava yang mengalir di situ dan merembes keluar dari dinding, dan percikan bunga api dari batu-batu yang dipecah menggunakan kapak dan beliung. Vesuvius berjalan melintasi lantai gua yang luas, hingga akhirnya ia tiba di mulut terowongan. Ia berdiri di depannya dan memandang terowongan selebar seratus kaki dan setinggi lima puluh kaki yang tengah digali semakin curam, semakin dalam dan semakin masuk menembus tanah, cukup dalam untuk menampung para prajuritnya ketika tiba saatnya mereka menyusup ke Benteng Api melewati liang ini. Suatu hari nanti mereka akan menyusup ke Escalon, muncul dari bawah tanah dan menculik ribuan manusia untuk dijadikan budak. Ia yakin, hari itu akan menjadi sebuah hari paling indah dalam hidupnya.

Vesuvius melangkah maju, merenggut seutas cambuk dari tangan prajuritnya; diangkatnya tinggi-tinggi cambuk itu, lalu mulai melecutkannya ke kiri dan ke kanan mencambuk para prajuritnya. Mereka semua kembali bekerja, memecah batu dua kali lebih cepat, menggempur batuan hitam yang keras hingga debu beterbangan di udara. Ia kemudian menuju ke para budak, laki-laki dan perempuan yang telah mereka bawa dari Escalon dan hendak mereka kembalikan lagi. Itulah misi yang paling membuatnya senang, misi yang ditujukan hanya demi meneror wilayah Barat. Sebagian besar manusia yang dijadikan budak itu tewas dalam perjalanan mereka kembali ke rumahnya, namun ada cukup banyak juga yang selamat, meskipun harus menderita luka bakar parah dan cacat—dan mereka itu adalah para budak yang ia pekerjakan dengan keras di terowongan ini.

Vesuvius menatap mereka. Ia memberikan cambuk itu pada seseorang dari mereka, lalu menunjuk kepada seorang perempuan di sana.

"Bunuhlah dia!" perintahnya.

Orang itu berdiri terpaku, tubuhnya gemetar, dan ia hanya mampu menggelengkan kepalanya.

Vesuvius mengambil kembali cambuk itu dari tangannya, lalu ia mencambuk orang itu berulang-ulang, hingga ia tak dapat sanggup lagi menahannya karena ajal telah menjemputnya.

Budak-budak lain kembali bekerja, memalingkan wajah dari tatapan matanya, sedangkan Vesuvius melemparkan cambuk itu begitu saja, bernafas dengan berat, lalu kembali memandang mulut gua. Ia bagai tengah melihat musuh bebuyutannya. Terowongan itu baru setengah jadi, dan tak jelas di mana ujungnya akan berakhir. Pembangunan ini berjalan terlalu lambat.

"Tuanku Yang Mulia?" sebuah suara menyapanya.

Vesuvius perlahan memalingkan badan dan melihat beberapa prajuritnya dari Mantra, pasukan elit troll yang mengenakan baju zirah hitam dan hijau yang merupakan para prajurit terbaiknya. Mereka berdiri dengan gagah sambil memegang tombak bermata kapak di sampingnya. Mereka ini adalah segelintir troll yang Vesuvius hargai, dan melihat kedatangan mereka membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Kedatangan mereka hanya berarti satu hal: yakni mereka pasti membawa sebuah kabar.

Vesuvius mengirim para pasukan Mantra ini untuk sebuah misi berbulan-bulan yang lalu: yaitu untuk mencari seorang raksasa yang tinggal di Rimba Raya, yang konon katanya telah membunuh ribuan troll. Ia berangan-angan untuk menangkap raksasa itu, lalu membawanya kemari dan memanfaatkan kekuatannya untuk menyelesaikan terowongan ini. Vesuvius telah berulang kali mengirim pasukannya untuk misi ini, namun tak satu pun dari mereka pulang dengan selamat. Mereka semua tewas, terbunuh oleh raksasa itu.

Saat Vesuvius memandangi pasukan di depannya, jantungnya berdetak kencang sambil berharap-harap cemas.

"Bicaralah," perintahnya.

"Tuanku Yang Mulia, kami telah menemukan raksasa itu," lapor salah satu dari mereka. "Kami telah mengepungnya. Pasukan kami tinggal menunggu perintah Tuan."

Perlahan Vesuvius tersenyum menyeringai; seingatnya, baru kali ini ia merasa senang. Senyumnya makin lebar saat sebuah rencana terbersit di benaknya. Ia tahu, akhirnya rencana itu pasti akan berhasil; akhirnya ia akan punya satu kesempatan untuk menerobos Benteng Api.

Ia memandang komandan pasukannya yang telah dipenuhi oleh tekad yang kuat, siap melakukan apa yang harus dilakukannya.

"Antarlah aku ke sana."