Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

BAB TIGA BELAS



Kyra berjalan terseok-seok menembus salju yang telah menumpuk setinggi lutut, menyusuri jalan keluar dari Hutan Akasia dengan bertumpu pada tongkatnya, mati-matian melawan badai salju yang hebat. Badai menerjang dengan ganas, menembus cabang-cabang pohon yang rimbun, menggoyang-goyangkan pepohonan yang besar, dan embusan angin yang sangat kencang nyaris membuat batang-batangnya melengkung. Angin dan salju menerpa wajahnya, hingga ia kesulitan melihat dengan jelas—pun ia kesulitan menjaga tubuhnya agar tak terjatuh. Dengan angin yang terus berembus sekencang itu, tenaganya terkuras hanya dalam beberapa langkah kaki saja.



Cahaya bulan merah darah telah hilang, seolah ditelan badai, dan kini ia harus menentukan arah berjalannya di dalam kegelapan. Pun seandainya ada cahaya yang menerangi langkahnya, ia akan tetap kesulitan melihat dengan jelas. Satu-satunya yang menemani langkahnya adalah Leo yang berjalan perlahan, tubuhnya terluka dan berjalan sembari bersandar pada Kyra; keberadaan Leo menjadi satu-satunya pelipur bagi Kyra. Setiap kali melangkah, kakinya terbenam semakin dalam dan ia tak yakin sejauh apakah perjalanan yang telah ditempuhnya. Ia merasakan dorongan untuk segera menemui rakyatnya, untuk memperingatkan mereka, hingga langkah demi langkahnya terasa semakin melelahkan.



Kyra berusaha melihat ke sekitarnya, menyipitkan mata di tengah deraan angin kencang, berharap melihat suatu tanda jejak di kejauhan—atau apa pun—agar tahu bahwa ia tengah berjalan menuju arah yang tepat. Ia tersesat di tengah-tengah bentang alam yang serba putih. Pipinya terasa perih akibat cakaran naga tadi, rasanya bagai terbakar api. Tangannya terjulur menyentuh luka itu, dan darah menempel di telapaknya, satu-satunya benda yang terasa hangat di tengah badai salju semacam ini. Pipinya terasa berdenyut-denyut nyeri, tampaknya naga itu telah membuat lukanya terinfeksi.



Saat sebuah embusan angin yang sangat kencang membuatnya terjerembab ke belakang, akhirnya Kyra sadar bahwa ia tak sanggup melanjutkan perjalanan ini; mereka berdua harus berteduh. Mati-matian ia berusaha tiba di Volis mendahului para Pasukan Pengawal, namun ia tahu bahwa jika ia nekat melanjutkan perjalanan seperti ini, ia akan mati di perjalanan. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya agak lega adalah mengingat bahwa para Pasukan Pengawal pun takkan dapat menyerang dalam cuaca buruk semacam ini—seandainya si pemuda pelayan tadi berhasil kembali ke markasnya.



Kyra memandang ke sekeliling, kali ini ia mencari tempat untuk beranung—namun ia tak dapat menemukannya. Yang ia lihat hanya hamparan putih di mana-mana, angin yang berembus sangat kuat hingga ia nyaris tak mampu berpikir dengan jernih; Kyra mulai diliputi rasa panik, membayangkan dirinya dan Leo terbujur kaku tak bernyawa di tempat ini, dan tak pernah ada orang yang menemukan keberadaan mereka berdua. Ia tahu, jika mereka tak segera menemukan tempat untuk berlindung, maka esok pagi mereka pasti telah mati. Pikiran itu menghantui dirinya, dan kini muncul makin kuat. Kini baru ia tersadar, dari sekian banyak malam yang lain, ia telah memilih malam terburuk untuk meninggalkan Volis.



Dan seakan dapat ikut merasakan maksud Kyra, Leo mulai mendengking dan sekonyong-konyong berbalik lalu berlari darinya. Ia melintasi sebidang tanah lapang, dan saat tiba di sisi seberang, Leo mulai menggali gundukan salju dengan beringas.



Kyra mengamati dengan was-was Leo yang melolong-lolong, menggaruk-garuk dengan liar, menggali salju semakin dalam; ia bertanya-tanya apa yang telah Leo temukan. Akhirnya Leo berhasil, dan Kyra terheran-heran karena Leo baru saja menggali sebuah cerukan kecil di sebelah sebuah batu yang berukuran besar. Dengan jantung yang berdegup penuh harap, Kyra bergegas menghampirinya dan merangkak memasuki cerukan itu, dan ia merasa cerukan itu cukup untuk menaungi mereka berdua. Kyra senang melihat bahwa cerukan itu pun kering—serta terlindung dari embusan angin.



Kyra menyandarkan punggungnya dan mencium kepala Leo.



"Kau berhasil, kawan."



Leo membalas dengan menjilat-jilatnya.



Kyra berlutut dan merangkak memasuki gua kecil itu bersama Leo di sebelahnya, dan saat berhasil masuk, segera saja dirinya merasa lega dalam hatinya. Akhirnya, cuaca pun menjadi tenang; desau angin telah hilang dan tak lagi terasa dingin menerpa wajah serta telinganya; dan kini tubuhnya pun tak lagi basah. Rasanya bagai ia dapat bernafas dengan lega lagi.



Kyra merangkak di atas daun-daun pinus, masuk semakin dalam di gua itu, menduga-duga seberapa dalamnya, hingga akhirnya ia sampai di dinding ujungnya. Ia duduk dan bersandar di situ lalu memandang ke sekeliling. Sesekali, berkas-berkas salju terbang masuk ke dalam gua, namun sebagian besar gua itu tetap kering, karena salju tak sampai beterbangan ke tempat ia duduk. Barulah ia merasa benar-benar lega.



Leo berbaring di sebelahnya, meringkukkan kepala di pangkuan Kyra, dan Kyra memeluk dada Leo sembari menyandarkan punggung pada sebuah batu; Kyra menggigil kedinginan, dan ia memeluk Leo agar badannya tetap hangat. Ia menepis berkas-berkas salju di topi bulu dan mantelnya agar tak membuatnya basah, dan ia memeriksa luka di tubuh Leo. Untunglah, luka itu tak dalam.



Kyra menggunakan salju untuk membersihkan luka itu, dan Leo mendengking saat Kyra menyentuh luka di tubuhnya.



“Sssst!” desis Kyra.



Ia merogoh kantongnya, lalu memberikan sekerat daging kering terakhir yang tersisa; Leo pun menyantapnya dengan rakus.



Sembari bersandar dan duduk di tengah gelapnya gua, ia mendengar bunyi desau angin, dilihatnya salju mulai menumpuk lagi dan menghalangi pandangannya; Kyra merasa malam itu bagaikan sebuah kiamat. Ia berusaha memejamkan mata, benar-benar kelelahan, kedinginan, sungguh-sungguh butuh beristirahat, namun luka yang menggores pipinya itu membuatnya tak dapat tidur karena terasa terus berdenyut-denyut.



Akhirnya, kelopak matanya pun terasa berat dan ia terpejam. Dedaunan pinus yang ia duduki terasa sangat nyaman, dan tatkala tubuhnya bersandar makin erat pada batu, lambat laun ia pun terlelap dengan sendirinya.



*



Kyra terbang menunggangi punggung seekor naga, berpegangan erat-erat, melayang jauh lebih cepat dari dugaannya tatkala naga itu melengking dan mengepakkan sayapnya. Sayap naga itu sungguh lebar dan menakjubkan, dan setelah diamati dengan saksama, sayap-sayap itu tampak jauh lebih lebar, seolah-olah membentang hingga ke ujung dunia.



Ia memandang ke bawah dan perutnya terasa mual saat ia melihat barisan perbukitan Volis jauh di bawah sana. Ia belum pernah melihat bukit-bukit itu dari tempat setinggi ini. Mereka terbang melintasi pedesaan yang makmur, dengan deretan perbukitan yang menghijau, hutan yang terhampar luas, sungai yang bergejolak, dan kebun-kebun anggur yang subur. Ia sangat hafal kawasan itu, dan segera saja Kyra dapat mengenali letak benteng ayahnya yang membujur di bawahnya, dengan dinding kuno yang membentang di sepanjang daerah pedesaan, dan domba-domba yang berkeliaran di luar benteng.



Namun saat naga itu terbang menukik tajam, tiba-tiba saja Kyra merasa ada sesuatu yang tak beres. Dilihatnya asap membumbung tinggi—dan asalnya bukan dari cerobong, namun asap yang gelap dan pekat. Saat ia melihatnya lebih dekat lagi, betapa ia terkejut mendapati bahwa benteng ayahnya tengah terbakar, bara api melumat segala sesuatu di dalamnya. Ia melihat barisan Pasukan Pengawal yang berderet-deret di kaki langit, mengepung benteng, membakarnya, dan ia mendengar jeritan; ia sadar bahwa semua orang yang ia kenal dan ia cintai di dunia ini tengah dibantai tanpa ampun.



"TIDAK!" ia berusaha berteriak.



Namun teriakan itu bagai terhenti di tenggorokannya, ia tak dapat bersuara.



Naga itu melengkungkan lehernya, menoleh lalu menatap mata Kyra—dan Kyra terkejut demi melihat bahwa naga itu adalah naga yang dulu pernah ia selamatkan, dan ia menatap Kyra dengan mata kuningnya yang menyala. Theos.



Kau telah menyelamatkanku, ia mendengar suara itu lewat mata batinnya. Kini saatnya aku harus menyelamatkanmu. Kini kita adalah satu, Kyra. Kita adalah satu.



Sekonyong-konyong Theos berbelok dengan tajam, dan Kyra pun kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.



Kyra berteriak kencang saat tubuhnya terjungkir balik di udara, dan ia terjun bebas dengan cepat ke tanah.



"TIDAAAK!" jerit Kyra.



Kyra duduk tergeragap di dalam gelap, tak tahu tengah berada di mana. Nafasnya tersengal-sengal, ia memandang ke sekeliling hingga akhirnya sadar: ia tengah berada di dalam gua.



Leo mendengking di sampingnya, kepalanya masih berada di pangkuan Kyra; lalu Leo menjilati tangan Kyra. Kyra bernafas dalam-dalam, mencoba mengingat-ingat di manakah dirinya berada. Malam masih gelap gulita dan badai masih mengamuk di luar sana, angin berdesau dan salju turun dengan deras. Denyut nyeri di pipinya semakin menjadi, lalu ia merabanya dan melihat darah segar masih menempel di jarinya. Ia tak tahu apakah darah akan berhenti mengucur dari lukanya.



"Kyra!" terdengar sebuah suara gaib, yang lebih mirip sebuah bisikan.



Kyra tertegun, bertanya-tanya apakah ada orang lain di dalam gua ini; matanya mengamati dalam gelap dengan penuh kewaspadaan. Ia melihat sesosok tubuh yang tak asing baginya tengah berdiri di depannya di dalam gua itu. Orang itu mengenakan jubah panjang berwarna hitam dan sepotong mantel tanpa lengan, sedangkan tangannya menggenggam sebatang tongkat; orang itu tampak lebih tua darinya, dengan uban yang menyembul dari balik kerudungnya. Tongkat yang dipegangnya berkilau, memendarkan cahaya lembut di tengah gelap malam.



"Siapakah kau?" tanya Kyra, lalu ia segera bangkit berdiri dengan sigap. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"

 



Orang itu melangkah maju; Kyra ingin dapat melihat muka orang itu, namun wajahnya masih tersembunyi oleh bayangan gelap.



"Apa yang kau cari?" tanya orang itu; suaranya yang tenang membuat Kyra agak tenang.



Kyra memikirkan hal ini dan ia mencoba memahami.



"Aku ingin bebas," jawab Kyra. "Aku ingin menjadi seorang prajurit."



Orang itu perlahan menggeleng.



"Kau lupa satu hal," katanya pada Kyra. "Satu hal yang paling penting. Itukah yang kau cari?"



Kyra menatap orang itu dengan kebingungan.



Akhirnya, orang itu pun melangkah lebih dekat lagi.



"Kau tengah mencari takdirmu."



Kyra tak mengerti maksud perkataannya.



"Selain itu, kau tengah mencari siapa jati dirimu yang sebenarnya," kata orang itu lagi.



Ia melangkah maju lagi, semakin dekat dengan Kyra, namun masih berselimutkan bayang-bayang gelap.



"Siapakah dirimu ini, Kyra?" tanya orang itu.



Kyra menatap orang itu dengan linglung; ia ingin menjawab pertanyaannya, namun saat itu juga ia merasa tak tahu harus menjawab apa. Kini Kyra merasa ragu akan segala sesuatu.



"Siapakah engkau ini?" desak orang itu; suaranya begitu kencang, bergema di dinding gua dan memekakkan telinganya.



Kyra menutupkan tangan ke wajahnya dan melindungi dirinya saat orang itu semakin mendekatinya.



Kyra membuka mata lagi dan betapa terkejut dirinya karena ia tak melihat siapa pun di situ. Ia tak mengerti apa yang tengah terjadi. Perlahan diturunkannya kedua tangannya, dan saat itu juga ia benar-benar sadar bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.



Sinar matahari yang cerah masuk ke dalam gua, cahayanya memantul di permukaan salju, di dinding gua, dan menyilaukan matanya. Matanya menyipit, linglung, dan ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Angin kencang telah berhenti, salju yang menyilaukan telah lenyap. Namun masih ada sedikit tumpukan salju yang menggunung di mulut gua, dan di luar, cuaca sangat cerah dengan langit biru terang dan burung-burung yang berkicau. Dunia seolah-olah baru saja terlahir kembali.



Kyra nyaris tak dapat memahami semua ini: ia baru saja selamat melewati sebuah malam yang panjang.



Leo menggigit perlahan lengan celananya dan menyeretnya dengan tak sabar.



Kyra yang masih kebingungan perlahan bangkit, dan saat itulah ia merasa telah pulih dari rasa sakit yang menderanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit bukan hanya karena pertarungan semalam serta pukulan yang ia terima, namun terlebih adalah karena rasa nyeri seperti terbakar di pipinya. Ia teringat akan cakar naga itu, lalu ia meraba dan merasakan lagi luka di pipinya; meski hanya luka gores, namun anehnya luka itu belum juga kering dan masih meneteskan darah.



Tatkala bangkit berdiri, kepalanya terasa amat ringan, dan ia tak yakin apakah itu akibat tubuhnya yang kelelahan, perutnya yang lapar, atau akibat cakaran naga itu. Ia berjalan dengan kaki yang gemetaran, dan tak biasanya ia merasakan seperti itu; ia mengikuti Leo yang berjalan mendahuluinya dengan tak sabar, keluar dari gua dan kembali bertemu sinar matahari; Leo menggaruk-garuk tumpukan salju itu agar mulut gua terbuka lebih lebar.



Kyra merangkak dan keluar dari gua; dan tatkala ia bangkit berdiri lagi, ia merasa tubuhnya bermandikan cahaya putih cemerlang nan menyilaukan. Tangannya terangkat menutup matanya, dan kepalanya terasa pening karena cahaya yang amat terang itu. Cuaca telah berubah jauh lebih hangat, angin tak lagi bertiup kencang, burung-burung berkicau, dan cahaya matahari bersinar menembus pepohonan di sekitar tanah lapang di hutan ini. Ia mendengar suara berdesing dan berpaling, lalu dilihatnya gumpalan salju yang tebal berguguran dari pohon pinus yang besar, lalu jatuh terburai ke tanah. Ia memandang ke bawah dan melihat bahwa ia tengah berdiri di atas timbunan salju setinggi pahanya.



Leo berjalan di depannya, menyusuri salju; ia yakin bahwa kali ini mereka tengah berjalan kembali menuju ke Volis. Kyra mengikutinya, berusaha agar tak tertinggal olehnya.



Toh, Kyra harus bersusah payah menjejakkan langkah demi langkah kakinya. Ia menghapus bibir dengan lidahnya dan merasa pusingnya semakin menjadi. Darah berdenyut-denyut di pipinya, dan ia mulai merasa bahwa luka itu telah menginfeksi tubuhnya. Ia mulai merasa tubuhnya berubah. Kyra tak mampu menjelaskan, namun rasanya darah naga itu tengah mengalir di dalam pembuluh darahnya.



“Kyra!”



Terdengar teriakan dari kejauhan, seakan berasal dari negeri seberang. Lalu suara-suara lain pun menimpali, memanggil-manggil namanya, dan teriakan mereka pun bagai tertelan salju dan pepohonan pinus. Butuh beberapa saat lamanya bagi Kyra untuk menyadari dan mengenali bahwa suara-suara itu adalah suara anak buah ayahnya. Mereka tengah menyisir hutan ini untuk mencari dirinya.



Kyra merasakan sebuah kelegaan yang amat sangat.



"Aku di sini!" jawabnya; ia merasa telah berteriak kencang, namun anehnya yang suara yang keluar hanyalah seperti suara bisikan. Saat itu barulah ia sadar betapa lemah tubuhnya. Luka itu telah menjangkitkan sesuatu dalam tubuhnya, sesuatu yang tak ia mengerti.



Tiba-tiba, lututnya lunglai, Kyra pun terjatuh ke atas salju dan tak kuasa menahannya.



Leo menyalak, lalu berbalik dan berlari cepat-cepat mendatangi para prajurit yang berteriak-teriak itu.



Kyra hendak berteriak memanggil anak buah ayahnya, memanggil seluruh prajurit itu, namun saat itu tubuhnya begitu lemah. Kyra masih terkapar di situ, terbenam di dalam salju; ia menatap ke sekelilingnya yang serba putih, ia menatap matahari musim dingin yang menyilaukan, dan memejamkan mata karena kantuk yang tak tertahankan lagi.





BAB EMPAT BELAS



Alec memegangi kepala dengan tangannya, berusaha menyembuhkan sakit kepalanya tatkala kereta yang penuh sesak oleh para pemuda itu berlonjakan melintasi jalan pedesaan yang tak rata sepanjang malam ini. Gundukan dan lubang di jalan seolah tiada habisnya, dan kereta kayu yang tua ini, dengan kerangka besi dan roda kayunya, tampaknya memang sengaja dirancang agar tak nyaman dikendarai. Setiap kali kereta berguncang, kepala Alec terbentur dinding kayu di belakangnya. Setelah guncangan pertama, ia yakin perjalanan menyengsarakan ini tak akan lama, dan jalan ini akan membawa mereka sampai ke tujuan sebentar lagi.



Namun setelah jam demi jam terlewati, jalanan yang mereka lintasi tampaknya semakin buruk saja. Ia tak tidur semalaman, karena memang tak ada harapan ia bisa tertidur; entah karena kereta yang berjalan berguncang-guncang, entah karena bau tubuh para pemuda lain, atau karena mereka saling sikut dan saling berdesakan. Sepanjang perjalanan, kereta itu berhenti beberapa kali di sejumlah desa, mengangkut lebih banyak pemuda, dan mengurung mereka berdesakan di dalam kereta yang gelap itu. Alec dapat merasakan mereka memandangi pada dirinya, mengepungnya, menatap tajam dirinya hingga membuat nyalinya ciut, dengan mata yang menyiratkan kebencian. Mereka semua lebih tua dari dirinya, miskin, dan mencari sasaran pelampiasan kekesalan.



Awalnya Alec menduga bahwa lantaran mereka semua bernasib sama, karena mereka dipaksa untuk menjadi prajurit di Benteng Api, maka ikatan persaudaraan akan tumbuh di antara mereka. Namun segera saja ia menyadari bahwa dugaannya itu keliru. Masing-masing pemuda itu hanya peduli pada urusannya sendiri, dan satu-satunya cara berkomunikasi di situ adalah dengan kekerasan. Wajah-wajah mereka tampak garang, tak bercukur, dengan goresan bekas luka, batang hidung yang tampaknya telah berulang kali patah karena berkelahi, dan baru saja Alec sadar bahwa tak semua pemuda di dalam kereta itu berusia delapan belas tahun—ada beberapa yang lebih tua, dengan jalan hidup yang lebih keras; sepertinya mereka adalah para penjahat, pencuri, pemerkosa, pembunuh, dan beraneka ragam lagi lainnya, dan semuanya akan dibawa ke Benteng Api.



Alec duduk di lantai kayu yang keras, tubuhnya berguncang kian kemari, rasanya seperti berada dalam perjalanan ke neraka, dan ia yakin perjalanan ini akan segera berakhir; namun kereta itu masih saja berhenti dari desa ke desa, dan ia tak habis pikir mengapa mereka terus menjejalkan lebih banyak pemuda ke dalam kereta ini. Saat pertama kali masuk ke kereta ini, selusin pemuda telah memenuhi kereta itu hingga tak ada ruang lagi untuk bergerak; namun kini, dengan lebih dari dua lusin pemuda, dan jumlahnya terus bertambah banyak, Alec nyaris tak dapat bernafas. Para pemuda yang masuk sesudah dirinya, semua dipaksa untuk berdiri, berusaha berpegangan ke atap kereta atau menggapai apa pun, namun seringkali pegangan mereka terlepas dan berjatuhan saling timpa seiring kereta yang terus berlonjakan di perjalanan. Banyak dari mereka yang berbalas saling mendorong, dan pergumulan pun tak kunjung usai; sepanjang malam, mereka tak henti-hentinya saling sikut dan saling dorong. Alec memandang keheranan saat ada seorang pemuda yang sampai menggigit telinga pemuda lainnya. Untung saja tak ada lagi ruang yang cukup untuk bergerak, bahkan sekadar menggerakkan bahu untuk melepaskan pukulan pun tak bisa, maka mau tak mau perkelahian pun reda seketika, dan mereka saling bersumpah untuk melanjutkannya nanti.



Alec mendengar kicau burung; ia mengintip ke luar dengan pandangan samar-samar, dan ia melihat seberkas cahaya pagi lewat sela-sela jeruji besi di kereta itu. Ia bersyukur hari telah pagi, bersyukur karena ia telah melewatkan malam terpanjang dalam hidupnya ini dengan selamat.



Saat sinar matahari mulai menerangi isi kereta, Alec mulai dapat melihat lebih jelas seluruh pemuda yang diangkut bersama dirinya. Tampaknya dialah yang paling muda di antara mereka semua—dan sepertinya pula, dialah yang paling tak berbahaya. Kereta itu berisi gerombolan manusia biadab berotot kekar, para pemuda yang garang; ada bekas luka di wajah mereka semua, dan beberapa di antaranya bertato di tubuhnya, tampak seperti pemuda-pemuda yang tersisih dari masyarakatnya. Kesabaran mereka hampir habis setelah melewatkan malam yang mengesalkan itu, dan Alec merasa kereta itu seolah hendak meledak karena amarah mereka.



"Kau tampak terlalu muda untuk dibawa," kata seseorang dengan suara berat.



Alec menoleh, memandang seorang pemuda yang usianya mungkin satu atau dua tahun lebih tua darinya, ia duduk beradu pundak di sebelahnya. Alec lantas tahu bahwa pemuda itulah yang telah menghimpitnya sepanjang malam; seorang pemuda berbahu lebar, berotot kekar dan wajah petani yang polos dan lugu. Wajahnya tak seperti wajah para pemuda lain di situ; ia tampak terbuka dan ramah, mungkin agak sedikit lugu, dan Alec merasa ia adalah seseorang yang baik hati.



"Aku menggantikan kakakku," balas Alec datar karena ragu untuk berbicara lebih banyak dengannya.



"Apakah kakakmu takut?" tanya orang itu keheranan.



Alec menggeleng.



"Dia cacat," jawab Alec.



Pemuda itu mengagguk paham, sembari memandang Alec dengan rasa hormat.



Mereka diam membisu, lalu Alec memandang pemuda itu lagi.



"Dan kau sendiri?" tanya Alec. "Sepertinya umurmu pun belum genap delapan belas tahun."



"Tujuh belas," kata pemuda itu.



Alec merasa heran.



"Lantas mengapa kau ada di sini?" tanya Alec.



"Aku mengajukan diri dengan sukarela."



kini Alec tertegun.



"Sukarela? Mengapa?"



Pemuda itu menunduk lalu mengangkat bahunya.



"Aku ingin lari."



"Lari dari apa?" tanya Alec penasaran.



Pemuda itu terdiam dan Alec menangkap raut sedih di wajahnya. Alec ikut terdiam dan merasa pemuda itu takkan menjawabnya—namun akhirnya, ia bergumam: "Lari dari rumah."



Alec menangkap kesedihan pada raut muka pemuda itu, dan ia pun paham. Jelas suatu peristiwa buruk telah terjadi di rumah si pemuda itu, dan dari memar di lengannya serta raut mukanya yang bercampur antara sedih dan marah, Alec hanya dapat menduga-duga peristiwa apakah gerangan.



"Maaf," balas Alec.



Pemuda itu memandang Alec dengan heran, lantaran ia tak menduga akan mendapati ungkapan bela rasa di dalam kereta itu. Sekonyong-konyong, ia mengulurkan tangannya.



"Marco," kata pemuda itu memperkenalkan dirinya.



“Alec.”



Mereka berdua berjabat tangan; telapak tangan pemuda itu dua kali lebih besar dari tangan Alec, dengan genggaman kuat yang membuat Alec kesakitan. Alec merasa Marco telah menjadi kawannya, dan rasanya cukup melegakan mengingat keberadaan puluhan wajah-wajah garang di depannya.



"Kurasa hanya kaulah seorang yang mengajukan diri dengan sukarela," kata Alec.

 



Marco memandang ke sekeliling dan mengangkat bahunya lagi.



"Kurasa begitu. Kebanyakan mereka ini dipaksa atau diambil dari penjara."



"Dari penjara?" tanya Alec terkejut.



Marco mengangguk.



"Sang Penjaga tidak hanya terdiri dari para prajurit aplusan, namun juga dari para penjahat."



"Siapa yang kau sebut penjahat, heh?" tanya seseorang dengan galak.



Mereka berdua menoleh kepada seorang pemuda, wajahnya tampak lebih tua dari umurnya karena kerasnya hidup yang ia jalani; meski umurnya tak lebih dari dua puluh tahun, namun ia terlihat seperti berusia empat puluhan; wajahnya bopeng dan matanya bulat. Ia berjongkok, dan menatap tajam pada wajah Marco.



"Aku tak sedang berbicara padamu," jawab Marco tak acuh.



"Sekarang kau sedang berbicara padaku," kata pemuda itu; jelas ia tengah memancing perkelahian. "Katakan lagi. Kau menyebutku penjahat karena wajahku?"



Marco geram dan mengepalkan tinjunya, ia naik pitam.



"Jika memang betul begitu," k