Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

BAB LIMA BELAS

Kyra membuka matanya perlahan, bingung, tak tahu di mana dirinya berada. Ia melihat langit-langit dari batu di atasnya, cahaya obor terpantul di dinding, dan ia merasa tubuhnya terbaring di sebuah ranjang berlapis selimut bulu mewah. Ia masih tak juga mengerti; hal terakhir yang diingatnya adalah ia ambruk ke salju, yakin bahwa ia akan mati.

Kyra mengangkat wajahnya dan memandang ke sekeliling, berharap melihat hutan bersalju di sekitarnya. Namun sebaliknya, ia terkejut melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya berkerumun mengelilinginya—di situ ada ayahnya, Brandon, Braxton dan Aidan, Anvin, Arthfael, Vidar, dan sejumlah prajurit terbaik ayahnya. Ia telah kembali ke benteng, ke dalam kamarnya, dan terbaring di ranjangnya, dan mereka semua memandang dirinya dengan cemas. Kyra merasakan lengannya ditekan, dan saat menoleh, dilihatnya Lyra, tabib di benteng itu, dengan mata besarnya yang kecoklatan dan rambut peraknya yang panjang; ia berdiri di dekatnya dan memeriksa denyut nadinya.

Kyra membuka matanya lebar-lebar, menyadari bahwa ia tidak lagi berada di tengah hutan. Entah bagaimana, ia telah berhasil pulang. Ia mendengar sebuah dengkingan di sampinya, ia merasakan hidung lembab Leo mengendus tangannya, dan ia sadar: Leo pastilah yang menuntun para prajurit itu menemukannya.

"Apa yang terjadi?" tanyanya kebingungan; Kyra berusaha mengingat-ingat peristiwa yang menimpanya.

Kerumunan orang itu tampak sangat lega saat melihatnya siuman dan mampu berbicara, lalu ayahnya mendekat, wajahnya penuh penyesalan dan kelegaan saat memegang tangan Kyra dengan lembut. Aidan merangsek maju dan meraih tangan Kyra yang sebelah, lalu Kyra tersenyum melihat adiknya itu berada di sampingnya.

"Kyra," kata ayahnya dengan suara penuh kasih sayang. "Sekarang kau telah pulang. Kau aman."

Kyra melihat wajah ayahnya menyiratkan rasa bersalah, dan Kyra teringat lagi akan percekcokan mereka berdua malam sebelumnya. Ia tahu bahwa ayahnya merasa bertanggung jawab atas kejadian ini. Toh, kata-kata ayahnyalah yang membuat Kyra minggat dari benteng.

Kyra merasakan perih di pipinya dan ia menjerit kesakitan saat Lyra memegang secarik kain basah lalu menyentuhkannya ke pipi Kyra; kain itu dibubuhi ramuan oles, lalu lukanya terasa panas terbakar kemudian reda dan terasa dingin.

"Air bunga Lily," Lyra menjelaskan dengan tenang. "Butuh enam ramuan untuk mencari tahu mana yang dapat menyembuhkan luka ini. Kau beruntung kami bisa menyembuhkan lukamu—infeksinya telah parah."

Ayahnya memandang pipinya dengan raut muka cemas.

"Ceritakanlah apa yang terjadi," kata ayahnya. "Siapa yang melakukan ini padamu?"

Kyra menopang tubuhnya dengan salah satu sikunya; kepalanya terasa berputar-putar dan ia merasa semua mata tertuju padanya, semua orang memperhatikannya dan menunggu tanpa sepatah kata pun. Ia mencoba mengingat-ingat, merangkai ulang peristiwa itu.

"Aku ingat...." ia mulai berbicara dengan suara parau. "Badai...Benteng Api...Hutan Akasia."

Alis ayahnya mengernyit, menyimak dengan saksama.

"Mengapa kau berkeliaran ke sana?" tanya ayahnya. "Mengapa kau pergi begitu jauh pada malam seperti itu?"

Kyra terus berusaha mengingat-ingat.

"Aku ingin melihat Benteng Api dengan mata kepalaku sendiri," kata Kyra. "Kemudian....aku hendak berteduh. Aku ingat...Danau Mimpi...lalu...ada seorang wanita."

"Seorang wanita?" tanya ayahnya. "Di Hutan Akasia?"

"Ia...ia begitu tua...salju pun tak kuasa membasahinya."

"Seorang penyihir," kata Vidar tekesiap.

"Makhluk seperti itu bergentayangan saat Bulan Musim Dingin," imbuh Arthfael.

"Lalu apa yang dikatakannya?" desak ayahnya penasaran.

Kyra dapat menangkap kebingungan dan kecemasan pada raut muka semua orang di situ, dan ia memutuskan untuk tak menceritakan seluruh kejadian itu; ia menyembunyikan soal ramalan tentang masa depannya. Ia sendiri masih terus berusaha memahami ramalan itu, dan ia khawatir jika mereka sampai mendengarnya, maka mereka akan mengira dirinya gila.

"Aku...aku tak ingat," ujar Kyra.

"Apakah wanita ini yang melukaimu?" tanya ayahnya sembari mengamati pipinya.

Kyra menggeleng dan menelan ludah; kerongkongannya kering, dan Lyra bergegas menghampirinya lalu memberikan air minum dari kantongnya. Kyra meneguk minuman itu lantaran ia haus bukan kepalang.

"Aku mendengar sebuah lengkingan," lanjut Kyra. "Namun bukan seperti lengkingan biasa."

Kyra pun duduk, dan ia merasa seolah peristiwa itu terulang lagi dengan jelas. Ia menatap mata ayahnya untuk melihat seperti apa tanggapannya.

"Lengkingan seekor naga," kata Kyra datar, menyiapkan diri menghadapi reaksi mereka dan ragu apakah mereka akan memercayai ceritanya.

Seisi ruangan itu terkejut tak percaya, dan semua orang memandangnya dengan melongo. Kebisuan meliputi mereka semua, dan wajah mereka tampak tertegun, lebih dari yang pernah Kyra lihat seumur hidupnya.

Tak ada yang berbicara sepatah kata pun untuk sekian lama.

Akhirnya, ayahnya pun menggelengkan kepala.

"Naga tidak pernah lagi mendatangi Escalon selama ribuan tahun," ujarnya. "Kau pasti salah dengar. Mungkin telingamu mengelabui dirimu."

Thonos, mantan ahli sejarah dan filsafat kerajaan yang kini tinggal di Volis, melangkah mendekat dengan jenggot kelabunya yang panjang sembari bertumpu pada tongkatnya. Ia orang yang tak banyak bicara, dan sekalinya bicara, maka semua orang selalu menghormatinya sebagai pelestari warisan pengetahuan dan kebijaksanaan.

"Saat Bulan Musim Dingin, hal semacam itu mungkin saja terjadi," kata Thonos dengan suara yang pelan.

"Aku benar-benar melihatnya," Kyra bersikeras. "Aku menyelamatkannya."

"Menyelamatkannya?" tanya ayahnya sembari menatap Kyra, seolah Kyra telah sinting. "Kau menyelamatkan seekor naga?"

Semua orang pun memandang seakan-akan Kyra memang telah gila.

"Naga itu yang melukai pipi Kyra," ujar Vidar. "Naga itu telah meracuni pikirannya."

Kyra geram, entah bagaimana lagi ia harus membuat mereka percaya.

"Naga itu tidak meracuni pikiranku," katanya bersikeras. "Aku tidak berbohong!"

Kyra memandangi wajah mereka semua dengan putus asa.

"Pernahkah kalian mendapati aku berbohong?" desak Kyra.

Mereka balas menatapnya dengan ragu-ragu.

"Berikan kesempatan pada gadis ini," seru Vidar. "Biarlah ia menyelesaikan ceritanya."

Ayahnya menganggukkan kepala padanya.

"Lanjutkan," tukasnya.

Kyra menjilat bibirnya, lalu menegakkan duduknya.

"Naga itu terluka," tutur Kyra. "Para Pasukan Pengawal mengepungnya. Mereka hendak membunuh naga itu. Aku tak tega melihatnya terbunuh dengan cara seperti itu."

"Lantas apa yang kau lakukan?" tanya Anvin; nada bicaranya tak sesinis orang-orang lain di situ.

"Aku membunuh mereka," ujar Kyra; matanya berulang kali menerawang jauh, suaranya terdengar berat karena ia sadar betapa ceritanya ini terdengar tak masuk akal. Ia pun tak dapat memercayai kejadian itu. "Aku membunuh mereka semua."

Lalu keheningan pun melanda seisi ruangan, jauh lebih hening dari sebelumnya.

"Aku tahu kalian takkan percaya padaku," imbuh Kyra.

Ayahnya berdehem dan mengepalkan tangannya.

"Kyra," kata ayahnya muram. "Kami menemukan lima mayat di dekatmu—mereka adalah para Pasukan Pengawal. Jika ceritamu itu benar, tahukah kau betapa gentingnya masalah ini? Apakah kau sadar apa yang baru saja kau perbuat?"

"Aku tak punya pilihan, Ayah," kata Kyra. "Ingatlah simbol dari benteng kita—kita tak boleh membiarkan binatang yang terluka menemui ajalnya."

"Naga bukanlah seekor binatang!" tukas ayahnya geram. "Naga adalah..."

Namun kata-katanya terputus, ia jelas tak yakin apa yang harus dikatakannya, hingga matanya hanya menerawang jauh.

"Jika semua Pasukan Pengawal itu mati, lantas apa masalahnya?" sela Arthfael sembari mengelus jenggotnya; suaranya memecah kebisuan. "Siapa yang akan tahu bahwa gadis ini yang membunuh semua prajurit itu? Bagaimana bisa mereka akan menuduh kita?"

Kyra merasa gugup, namun ia harus menceritakan seluruh kejadian yang sebenarnya.

"Masih ada satu lagi," imbuhnya dengan ragu-ragu. "Seorang pelayan. Seorang pemuda. Ia adalah saksinya. Ia melarikan diri menunggang kudanya."

Mereka semua menatapnya, muka mereka kecut.

Maltren mendekat sembari mengernyitkan dahi.

"Dan mengapa kau biarkan pemuda itu hidup?" desaknya.

"Ia hanya seorang pemuda biasa," kata Kyra. "Ia tak bersenjata. Ia melarikan diri, tak berani menghadapiku. Haruskah aku memanahnya?"

"Aku pun sangsi kaulah yang membunuh para prajurit itu dengan panah," tukas Maltren. "Namun jika benar kau yang membunuh mereka, apakah lebih baik kau biarkan pemuda itu tetap hidup dan membiarkan diri kita mati?"

"Tak ada seorang pun yang akan membiarkan kita mati," ayahnya menghardik Maltren untuk membela Kyra.

"Bukankah itu yang Kyra lakukan?" tanya Maltren. "Jika ceritanya benar, dan para Pasukan Pengawal itu memang mati, maka Volis yang akan bertanggung jawab karena ada seorang saksi yang selamat, maka tamatlah riwayat kita."

Ayahnya berpaling pada Kyra; raut mukanya amat muram.

"Ini memang alamat buruk," kata ayahnya dengan suara yang dalam.

"Maafkan aku, Ayah," kata Kyra. "Aku tak berniat menimbulkan masalah bagi ayah."

"Tak berniat?" balas Maltren. "Oh ya, kau tak sengaja telah membunuh lima orang Pasukan Pengawal? Dan untuk apa kaulakukan itu semua?"

 

"Sudah kubilang," kata Kyra. "Untuk menyelamatkan naga itu."

"Menyelamatkan naga khayalanmu," ujar Maltren sambil terkekeh. "Dan menurutmu itu naga itu setimpal dengan nyawa kita. Dan naga itu akan dengan senang hati mencabik-cabikmu, itu pun jika ia benar-benar ada."

"Naga itu tidak mencabikku," bala sKyra.

"Hentikan omong kosong ini," kata ayahnya dengan suara tinggi karena marah. "Katakanlah yang sebenarnya. Kami semua adalah pria sejati. Apa pun yang telah terjadi, ceritakanlah pada kami. Kami tak akan menyalahkanmu."

Kyra menjerit dalam hati.

"Sudah kuceritakan semuanya," kata Kyra.

"Aku percaya padanya," kata Aidan yang berdiri di sebelahnya. Kyra sangat menghargai sikap Aidan itu.

Namun saat ia memandang semua orang lain di situ, tak ada satu pun yang tampak menghargai Aidan. Kebisuan yang panjang kembali menyelimuti mereka.

"Tak mungkin, Kyra," kata ayahnya dengan lembut.

"Mungkin saja," tiba-tiba sebuah suara yang berat menyela.

Mereka semua berpaling saat pintu kamar terbuka dan beberapa anak buah ayahnya masuk, lalu mengibaskan salju dari mantel dan rambut mereka. Dengan muka yang masih merah karena kedinginan, orang yang berbicara itu menatap Kyra dengan takjub.

"Kami menemukan jejaknya," katanya. "Di dekat sungai. Dekat dengan tempat Kyra ditemukan. Jejak kaki itu terlalu besar untuk makhluk apa pun yang tinggal di bumi. Itu adalah jejak seekor naga."

Semua orang di kamar itu memandang Kyra, dan kini mereka semakin bimbang.

"Lalu di manakah naga itu sekarang?" kata Maltren.

"Jejaknya mengarah ke sungai," jawab orang itu.

"Naga itu tak dapat terbang," ujar Kyra. "Dia terluka, seperti yang kukatakan. Ia terguling, tercebur ke dalam arus sungai lalu aku tak melihatnya lagi."

Mereka diam membisu, dan kini jelas sudah bahwa mereka percaya pada kata-kata Kyra. Mereka memandang Kyra dengan takjub.

"Kau bilang kau melihat naga itu?" tanya ayahnya.

Kyra mengangguk.

"Aku berdiri sedekat jarak ayah denganku saat ini," balas Kyra.

"Dan bagaimana kau bisa selamat darinya?" tanya ayahnya lagi.

Kyra tercekat, ia tak tahu harus menjawab apa.

"Naga itulah yang melukaiku," kata Kyra sembari menyentuh pipinya.

Mereka kini melihat pipi Kyra dengan pandangan yang berbeda, dan mereka semua tertegun.

Saat Kyra menyentuhkan jemarinya di luka itu, ia merasa bahwa goresan itu akan meninggalkan bekas dan mengubah paras wajahnya untuk selamanya; namun entah mengapa, ia tak peduli.

"Namun kurasa naga itu tak bermaksud menyakitiku," imbuhnya.

Mereka menatap padanya seolah Kyra ini sinting. Kyra ingin bercerita soal ikatan yang ia rasakan dengan makhluk itu, namun dirasanya mereka takkan mengerti.

Semua mata tertuju pada Kyra, dan mereka semua tampaknya kebingungan; lalu pada akhirnya, ayahnya bertanya pada Kyra:

"Mengapa kau mau mempertaruhkan nyawamu demi menyelamatkan naga itu? Mengapa kau membahayakan nyawa kita semua?"

Itu adalah sebuah pertanyaan yang sulit, pertanyaan yang tak mampu Kyra jawab. Andai saja ia punya jawabannya. Ia tak dapat merangkai kata untuk mengungkapkan perasaan, emosi dan firasat akan takdirnya yang ia rasakan saat berada di dekat naga itu—dan ia merasa bahwa orang-orang itu takkan mengerti. Namun ia sadar bahwa ia telah membahayakan mereka semua, dan ia merasa sangat menyesal karenanya.

Yang dapat ia lakukan hanya tertunduk lalu berkata: "Maafkan aku, Ayah."

"Tak mungkin," kata Maltren dengan gelisah. "Tak mungkin kita mampu melawan seekor naga dan tetap selamat."

"Kecuali..." kata Anvin sembari menatap Kyra penuh tanda tanya, lalu berbalik pada ayah Kyra. "Kecuali jika putrimu ini adalah—"

Sekonyong-konyong ayahnya memotong kata-kata Anvin dengan tatapan matanya, dan Anvin seketika berhenti bicara.

Kyra memandang kedua pria itu bergantian; ia bingung, tak mengerti apa yang hendak Anvin katakan.

"Kecuali jika aku apa?" desak Kyra.

Namun Anvin hanya memalingkan muka dan tak menjawab sepatah kata pun. Dan seisi ruangan memang lantas terdiam membisu; dan saat ia memandangi wajah mereka satu persatu, ia merasa bahwa orang-orang itu memang memalingkan pandangan mereka dari dirinya, sepertinya mereka menyimpan sebuah rahasia tentangnya.

Ayahnya seketika bangkit dari tepi ranjang dan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Kyra. Ia berdiri tegak, mengisyaratkan bahwa percakapan ini telah usai.

"Sekarang kau harus beristirahat," katanya. Ia memandang anak buahnya dengan bersungguh-sungguh. "Ada pasukan yang datang," kata ayahnya dengan suara berwibawa. "Kita harus bersiap-siap."

BAB ENAM BELAS

Kyra berdiri seorang diri di tanah lapang yang hangat di musim semi, sambil mengagumi dunia di sekelilingnya. Segala tumbuhan mekar berwarna-warni, bukit-bukit menghijau, begitu hidup, berpadu dengan bunga-bunga kuning dan merah yang cerah. Pepohonan trubus, daun-daunnya rimbun, bergoyang ditiup angin, penuh dengan buah. Perbukitan itu berselimut kebun-kebun anggur yang telah matang, dan wangi bunga dan anggur merebak di udara. Kyra tak tahu ia tengah berada di mana; tak ada seorang pun manusia di sana—pun musim dingin telah berlalu.

Lalu terdengarlah sebuah lengkingan di udara, dan Kyra memandang ke atas, dilihatnya Theos terbang berputar di atasnya. Theos menukik, mendarat di rerumputan beberapa kaki jauhnya dari dirinya, lalu ia menatap tajam pada Kyra dengan mata kuningnya yang menyala. Ada semacam isyarat yang tersampaikan antara mereka berdua; dengan ikatan batin yang kuat, maka mereka bicara dalam bahasa tanpa kata-kata.

Theos sekonyong-konyong mendongakkan kepalanya lalu menjerit, ia menyemburkan nafas apinya tepat ke arah Kyra.

Kyra tak takut sedikit pun. Ia tak mengelak saat api itu berkobar di dekatnya, karena ia tahu bahwa naga itu takkan pernah menyakitinya. Api berkobar, menjilat ke kiri dan kanannya, membakar tanah di sekitarnya namun tak sedikit pun ia terbakar.

Kyra berpaling dan ngeri bukan kepalang saat melihat api menjalar ke seluruh pedesaan, menghanguskan segala tumbuhan dan keindahan musim panas. Hamparan tanah di depannya berubah, pohon-pohon terpanggang hingga kering dan rerumputan pun ludes terbakar, rata dengan tanah.

Api itu berkobar semakin tinggi, menjalar semakin luas, semakin cepat, dan di kejauhan, ia melihat api melahap Volis—hingga yang tersisa tinggallah puing-puing dan abu.

Theos akhirnya berhenti, dan Kyra berbalik lalu menatapnya dengan tajam. Kyra berdiri di bawah naungan bayang-bayang naga itu, ia tampak sangat kecil dibandingkan tubuh naga yang sangat besar, dan ia tak tahu apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Naga itu menginginkan sesuatu dari Kyra, namun Kyra tak mengerti apa yang diinginkannya.

Kyra mengulurkan tangan menyentuh sisik-sisiknya, dan tiba-tiba saja naga itu mengangkat cakarnya, menjerit lalu menggores pipinya.

Kyra duduk di atas ranjang, memekik sembari mememgangi pipinya; rasa perih menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari naga itu—namun anehnya ia justru merasakan tangan seseorang menyentuhnya, menenangkan dirinya dan berusaha menahannya.

Kyra mengerjapkan matanya dan melihat seseorang dengan wajah yang dikenalnya tengah berdiri di dekatnya, sembari memegang kompres di pipinya.

"Ssst," kata Lyra menenangkan.

Kyra memandang ke sekeliling, kebingungan, dan akhirnya sadar bahwa ia baru saja bermimpi. Ia berada di rumah, di benteng ayahnya, dan masih terlentang di kamarnya.

"Itu hanya mimpi buruk," kata Lyra.

Kyra yakin bahwa ia tadi tertidur, namun entah sudah berapa lama. Ia memandang ke jendela dan melihat cahaya matahari telah berganti dengan gelap. Seketika itu juga ia duduk dengan sigap.

"Pukul berapakah ini?" tanyanya.

"Sekarang telah larut malam, nona," balas Lyra. "Bulan telah muncul dan bersinar."

"Lalu bagaimana dengan pasukan yang datang tadi?" tanya Kyra dengan jantung berdegup.

"Tak ada pasukan yang datang, nona," jawab Lyra. "Salju masih tebal, dan kau terbangun saat senja datang. Tak ada pasukan yang mampu menembus cuaca seperti ini. Jangan khawatir—kau hanya tertidur selama beberapa jam. Sekarang, beristirahatlah."

Kyra kembali bersandar dan menghirup nafas; ia merasakan endusan hidung yang lembab di tangannya, dan dilihatnya Leo tengah menjilati tangannya.

"Ia belum pergi dari sini, nona," ujar Lyra sambil tersenyum. "Begitu pula dengan dia."

Lyra memberi isyarat, dan Kyra memandang ke sekitar lantas terharu melihat Aidan tidur meringkuk di atas tumpukan karpet bulu di dekat perapian, tangannya masih memegang sebuah buku bersampul kulit; ia terlelap.

"Dia membacakan cerita untukmu saat engkau tidur," imbuh Lyra.

Kasih sayang Kyra sangat tercurah pada adiknya ini—dan itu membuatnya menjadi semakin was-was terhadap masalah yang akan datang.

"Aku mengerti perasaanmu," imbuh Lyra sembari menekan kompres itu pada pipi Kyra. "Kau bermimpi tentang suatu masalah. Itu adalah sebuah tanda dari seekor naga."

Kyra menangkap pandangan penuh makna dari Lyra; ia takjub, dan tak mengerti.

"Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi pada diriku," kata Kyra. "Aku belum pernah bermimpi. Belum pernah memimpikan hal semacam ini. Rasanya semua itu lebih dari sekadar mimpi—seolah aku benar-benar berada di sana. Seakan aku tengah memandang melalui mata naga itu."

Lyra memandangnya dengan tatapan yang menggetarkan, lalu meletakkan tangannya di pangkuan Kyra.

"Mendapatkan sebuah tanda dari seekor binatang adalah sesuatu hal yang suci," ujar Lyra. "Dan naga itu bukanlah binatang biasa. Jika suatu makhluk menyentuhmu, maka kau tengah menjalin ikatan dengannya—untuk selamanya. Kau bisa melihat apa yang dilihatnya, merasakan apa yang dirasakannya, atau mendengar apa yang didengarnya. Semua itu mungkin akan terjadi malam ini—mungkin juga tahun depan. Namun suatu saat nanti, mimpimu itu pasti akan terjadi."

Lyra memandangnya dengan sungguh-sungguh.

"Kau mengerti, Kyra? Kau bukanlah Kyra yang dahulu, sejak kau pergi dari benteng ini. Dan goresan di pipimu itu bukanlah sembarang goresan—itu adalah sebuah tanda. Kini tanda seekor naga itu selalu ada bersamamu."

Kyra mengernyitkan alisnya, berusaha untuk memahami kata-kata itu.

"Namun, apa arti dari semua ini?" tanya Kyra; nalarnya mencoba untuk mencerna seluruh kejadian itu.

Lyra menghela nafas, lalu menarik nafas panjang.

"Waktu yang akan menunjukkannya padamu."

Kyra berpikir tentang para Pasukan Pengawal, tentan perang yang akan pecah, dan ia merasakan sebuah kegentingan yang amat sangat. Ia mencampakkan mantel bulunya lalu bangkit berdiri, dan seketika itu juga ia merasa limbung. Lyra bergegas menghampirinya dan memapah bahunya agar tubuh Kyra tak ambruk.

"Kau harus berbaring," paksa Lyra. "Demammu belum juga reda."

Namun Kyra merasakan desakan untuk menolong dan ia tak sanggup lagi berdiam diri di atas ranjang.

"Aku baik-baik saja," balasnya sembari mengambil jubahnya lalu mengenakannya untuk melindungi tubuhnya dari angin kencang. Saat ia hendak pergi, ia merasa sebuah tangan menahan bahunya.

"Setidaknya, minumlah ini terlebih dulu," desak Lyra sembari menyodorkan cangkir padanya.

Kyra memandang cangkir itu dan melihat cairan merah di dalamnya.

"Apa ini?"

"Ramuanku sendiri," balas Lyra dengan tersenyum, "Ramuan ini akan menyembuhkan demam dan meredakan sakitmu."

Kyra menyeruput ramuan itu, memegang cangkir dengan kedua tangannya; ramuan itu terasa kental di tenggorokan, sulit ditelan. Ia meringis dan Lyra hanya tersenyum.

"Rasanya seperti lumpur," ujar Kyra.

Lyra tersenyum makin lebar. "Ramuan ini tidak terkenal karena kelezatan rasanya."

Namun segera saja Kyra merasa lebih sehat, seluruh tubuhnya terasa hangat.

"Terima kasih," kata Kyra. Ia menghampiri Aidan, membungkuk lalu mengecup keningnya dengan hati-hati agar adiknya itu tak terbangun. Kemudian ia berlalu dan bergegas keluar dari kamarnya, bersama dengan Leo di sebelahnya.

Kyra menyusuri lorong-lorong berliku yang panjang di Volis yang remang-remang, hanya diterangi oleh deretan obor yang kerlap-kerlip di sepanjang dindingnya. Hanya ada beberapa prajurit yang berjaga selarut ini, sedangkan seluruh benteng sunyi senyap karena semua penghuninya yang lain tengah terlelap. Kyra meniti anak tangga batu berbentuk melingkar lalu berhenti di depan kamar ayahnya yang dijaga oleh seorang prajurit. Penjaga itu menatapnya penuh hormat, dan Kyra penasaran seberapa cepatkah kabar tentang kejadian yang menimpanya itu telah menyebar. Penjaga itu menganggukkan kepalanya.

 

"Tuan putri," kata orang itu.

Kyra mengangguk.

"Apakah ayahku berada di dalam kamarnya?"

"Beliau tak dapat tidur. Terakhir kali saya melihatnya menuju ke ruang baca."

Kyra bergegas menyusuri lorong-lorong berdinding batu, merundukkan kepalanya saat melintas di bawah pintu lengkung yang mengerucut dan rendah, lalu menuruni anak tangga berbentuk melingkar hingga ia tiba di ujung benteng. Balairung itu berakhir di sebuah pintu perpustakaan yang melengkung dan berukuran besar, lantas ia mengulurkan tangan untuk membuka pintu itu, namun tampaknya pintu itu telah terbuka sedikit. Ia menghentikan langkahnya demi mendengar suara percakapan yang tegang dan serius dari dalam perpustakaan.

"Sudah kukatakan ia tidak melihatnya," terdengar suara marah ayahnya.

Ayahnya naik darah, maka Kyra urung masuk ke ruangan itu, karena ia merasa lebih baik menunggu saja. Ia berdiri di balik pintu, menunggu percakapan itu selesai; ia penasaran siapa yang tengah berbicara dengan ayahnya dan apa yang mereka bicarakan. Apakah mereka sedang membicarakan dirinya? Kyra penasaran.

"Jika memang benar ia melihat seekor naga, maka Volis tak bisa berharap banyak lagi," kata sebuah suara parau yang segera saja ia kenali sebagai suara Thonos, penasihat tertua ayahnya.

Ayahnya menggumamkan sesuatu yang tak dapat ia pahami, lalu mereka membisu setelah Thonos menghela nafas.

"Masa lalu terulang kembali, menandai bangkitnya para naga," balas Thonos dengan suara berat. "Inilah saat di mana kita semua akan diluluhlantakkan dengan semburan apinya. Kita tak punya dinding yang sanggup menahan mereka. Yang kita punya hanya perbukitan dan langit. Dan jika mereka benar datang, maka mereka datang demi satu alasan."

"Tapi, alasan apakah itu?" tanya ayahnya. "Apa yang membuat mereka menyeberang ke dunia ini?"

"Komandan, pertanyaannya mungkin lebih tepat adalah: apa yang mampu melukai naga itu?" jawab Thonos.

Kebisuan kembali menyelimuti; hanya gemeretak api yang menimpali, hingga akhirnya Thonos berbicara lagi.

"Kurasa bukan soal naga itu yang membuatmu risau, benar?" tanya Thonos.

Lantas suasana hening beberapa saat lamanya; dan meskipun tahu ia tak semestinya menguping percakapan itu, tetap saja Kyra tak tahan; ia mencondongkan badannya, lalu mengintip dari celah-celah pintu. Betapa terpukulnya ia melihat ayahnya terduduk dengan tangan menopang kepalanya; ia tengah merenung.

"Tidak," kata ayahnya; suaranya terdengar jengah. "Bukan soal itu," ungkap ayahnya.

Kyra bertanya-tanya apakah yang tengah mereka perbincangkan.

"Kau percaya akan ramalan bukan?" tanya ayahnya. "Pada saat kelahiran Kyra?"

Kyra membungkukkan badan; jantungnya berdegup kencang karena merasa bahwa mereka tengah membicarakan dirinya, namun ia tak mengerti apa maksud pembicaraan itu.

Tak terdengar jawaban apa pun.

"Aku ada di sana saat itu, Komandan," akhirnya Thonos menjawab. "Begitu juga dirimu."

Ayahnya menghela nafas, namun kepalanya tetap tertunduk.

"Ia adalah putrimu. Tidakkah menurutmu lebih baik jika kau memberitahunya? Menceritakan tentang kelahirannya? Tentang ibunya? Tidakkah ia berhak untuk mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya?"

Jantung Kyra berdetak kencang di dada; ia tak suka rahasia, apalagi jika itu berkaitan dengan dirinya. Mati-matian ia berusaha memahami maksud percakapan itu.

"Waktunya belum tepat," kata ayahnya.

"Namun waktunya memang takkan pernah tepat, bukan?" ujar pria itu.

Kyra bernafas dalam-dalam, dadanya terasa sesak.

Tiba-tiba Kyra berbalik dan berlari; dadanya terasa hendak meledak saat mendengar kata-kata ayahnya terngiang di telinganya. Kata-kata itu jauh lebih menyakitkan daripada tusukan sejuta belati, jauh lebih menyakitkan dari siksaan apa pun yang akan dilakukan Pasukan Pengawal pada dirinya. Ia merasa telah dikhianati. Ayahnya menyimpan rahasia itu darinya, rahasia yang telah ia sembunyikan seumur hidup Kyra. Selama ini ayahnya telah berbohong pada dirinya.

Tidakkah ia berhak untuk mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya?

Seumur hidup, Kyra merasa bahwa semua orang selalu memandangnya dengan tatapan yang berbeda, seakan mereka tahu suatu rahasia yang disembunyikan dari dirinya; seolah ia adalah seorang asing, dan Kyra tak pernah dapat memahami alasannya. Namun kini ia mengerti. Perbedaan dalam dirinya itu bukan hanya perasaannya saja—sesungguhnya ia memang berbeda. Namun bagaimana bisa?

Siapakah sebenarnya dirinya?