Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

BAB TUJUH BELAS

Vesuvius melangkahkan kaki diikuti ribuan troll di belakangnya, melintasi Rimba Raya, menapaki tanah yang mendaki, terlalu curam untuk dilewati oleh kuda. Ia melangkah dengan mantap, dan kali ini dengan penuh keyakinan. Ia menyibakkan semak-semak yang lebat dengan parangnya dan ia tahu bahwa sebenarnya ia masih bisa lewat tanpa harus membabat semak-semak, namun ia hanya ingin melakukannya: ia senang membuat makhluk lain mati.

Seiring langkahnya, Vesuvius mendengar raungan raksasa yang tertangkap itu, semakin kencang dan menggetarkan tanah tempat mereka berpijak. Ia melihat ketakutan tersirat pada wajah para troll anak buahnya—dan hal itu membuatnya tersenyum. Itulah ketakutan yang telah bertahun-tahun ia tunggu—karena ketakutan semacam itu menyiratkan bahwa akhirnya raksasa itu telah benar-benar ditemukan, bukan hanya berita desas desus saja.

Ia membabat gerumbul semak-semak terakhir sebelum akhirnya tiba di puncak bukit dan sebuah padang terbuka terbentang di hadapannya. Vesuvius berhenti, terkejut akan apa yang dilihatnya. Di seberang padang itu terdapat sebuah gua yang besar, dengan mulut gua berbentuk melengkung setinggi seratus kaki; di bebatuan gua itu terikat sebuah rantai sepanjang lima puluh kaki dan setebal tiga kaki, yang membelenggu kedua pergelangan kaki makhluk terbesar dan paling mengerikan yang pernah ia lihat. Yang dilihatnya itu adalah benar-benar sesosok raksasa, makhluk yang sungguh menyeramkan, dengan tinggi sekira seratus kaki dan tiga puluh kaki lebarnya, dengan tubuh yang bentuknya serupa dengan manusia biasa, namun memiliki empat buah mata, tak punya hidung, dan mulut lebar dengan rahang yang kuat dan penuh dengan gigi. Ia meraung dengan suara yang menakutkan, dan Vesuvius yang tak takut pada apa pun, yang sebelumnya pernah menghadapi makhluk paling mengerikan sekali pun, harus mengakui bahwa kali ini raksasa itu membuatnya takut. Mulutnya terbuka semakin lebar, giginya yang runcing mencuat sepanjang lima kaki, dan tampaknya raksasa itu sanggup menelan seisi dunia ini.

Raksasa itu juga terlihat sangat marah. Ia meraung-raung lagi, menghentak-hentakkan kaki, berusaha memutuskan rantai yang membelenggu kakinya; tanah bergetar, gua bergetar, dan seluruh kawasan lereng gunung itu pun ikut bergetar. Rasanya bagaikan raksasa ini tengah mengerahkan seluruh tenaganya untuk memindahkan gunung itu, seolah-olah tubuhnya sendiri pun tak mampu lagi membendung kekuatan yang meluap-luap. Vesuvius menyeringai; memang inilah yang diinginkannya. Mahkluk semacam ini sanggup menggali terowongan yang tak mampu dibuat oleh seluruh troll anak buahnya.

Vesuvius mendekat dan memasuki tanah padang itu sembari memandangi lusinan prajurit yang terkapar tak bernyawa, bergelimpangan di tanah; seketika itu juga, ratusan prajurit yang telah menanti kedatangannya lantas berbaris dengan rapi. Ia melihat ketakutan di wajah mereka semua, seolah mereka tak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan pada raksasa itu setelah berhasil menangkapnya.

Vesuvius berhenti di tepian padang, di luar jangkauan rantai yang membelenggu raksasa itu; ia tak ingin bernasib sama dengan mayat-mayat yang berserakan itu; dan seketika itu juga, raksasa itu berbalik dan menyerangnya, menebasnya dengan kuku-kukunya yang panjang, dan tebasan itu meleset beberapa kaki saja dari Vesuvius.

Vesuvius berdiri menatap raksasa itu, sementara komandan pasukan mendekat dan berdiri di sebelahnya, menjaga jarak aman dari jangkauan si raksasa.

"Tuanku Yang Mulia," kata si komandan sembari membungkuk penuh hormat. "Raksasa itu telah tertangkap. Tuan dapat memerintah kami untuk membawanya. Namun kami tak dapat mengikatnya. Banyak prajurit yang tewas saat mencobanya. Kini kami tak tahu apa yang harus kami lakukan."

Vesuvius berdiri berkacak pinggang, dan pandangan seluruh anak buahnya tertuju pada dirinya saat ia mengamati raksasa itu. Raksasa itu sungguh makhluk yang menakjubkan, dan tatkala raksasa itu menatap lalu menggeram padanya, seakan tak sabar ingin segera mencabik-cabik dirinya, Vesuvius mengerti apa yang menjadi masalah. Seperti biasa, ia langsung paham apa yang harus mengatasinya.

Vesuvius merangkul pundak komandan itu lalu mencondongkan tubuh padanya.

"Kau mencoba untuk mendekati raksasa itu," bisik Vesuvius. "Kau harus membiarkan ia yang mendatangimu. Kau harus membuatnya terkejut, karena hanya dengan begitulah maka kau akan dapat mengikatnya. Kau harus memberikan apa yang ia inginkan."

Sang komandan balas memandangnya dengan penuh tanda tanya.

"Lalu apa yang ia inginkan, Tuanku Yang Mulia?"

Vesuvius mulai melangkah, menuntun komandan semakin jauh ke dalam padang, menuju ke raksasa itu.

"Dirimu," jawab Vesuvius, seolah itulah jawaban yang paling jelas—lalu ia mendorong komandan itu sekuat tenaga, hingga sang komandan yang lengah itu terjungkal ke tanah.

Vesuvius mundur hingga jarak yang aman, lalu melihat raksasa itu mengerjapkan matanya karena terkejut. Si komandan segera bangkit dan berusaha berlari, namun raksasa itu bergerak dengan cepat, menyambarnya dengan kuku-kuku yang panjang, memegang dan meremas pinggang si komandan tepat di depan matanya. Raksasa itu mendekatkan si komandan ke mulutnya lalu menggigit kepala komandan troll itu; teriakannya tertelan bersama dengan kepalanya.

Vesuvius tersenyum, puas karena komandan yang tak becus itu telah ia enyahkan.

"Jika aku masih harus mengajarkan apa yang harus kau lakukan, lalu mengapa aku harus repot-repot mengangkat seorang komandan?" katanya pada mayat komandan itu.

Vesuvius berpaling dan memandang sisa prajuritnya, dan mereka semua hanya bisa berdiri ketakutan, membalas tatapan itu dengan tegang. Vesuvius menunjuk seorang prajurit di dekatnya.

"Kau," katanya.

Troll itu memandang Vesuvius dengan gugup.

"Hamba, Tuanku Yang Mulia?"

"Kau berikutnya."

Mata troll itu terbelalak dan ia jatuh berlutut, mengatupkan kedua tangannya di depan Vesuvius.

"Hamba tak sanggup, Tuanku Yang Mulia!" rengeknya. "Hamba mohon! Jangan hamba! Pilihlah prajurit yang lain!"

Vesuvius mendekat dan mengangguk dengan tenang.

"Baiklah," katanya. Ia maju lalu menggorok leher troll itu dengan belatinya, dan troll itu tersungkur tertelungkup, tak bernyawa. "Akan kupilih yang lain."

Vesuvius berpaling pada para prajuritnya yang lain.

"Ambil mayatnya, lalu lemparkan ke dekat raksasa itu," perintah Vesuvius. Saat ia mendekat, persiapkanlah tambang kalian. Kalian harus mengikatnya saat ia mengambil umpan itu."

Enam prajurit mengangkat mayat itu, membawanya maju lalu melemparkannya ke tanah lapang. Prajurit-prajurit yang lain mengikuti perintah Vesuvius, berjajar maju di kedua sisi tanah lapang, siap dengan tali tambang yang berukuran besar.

Raksasa itu mengamati mayat yang baru saja dilemparkan dekat kakinya, ia bimbang. Namun akhirnya, seperti dugaan Vesuvius, raksasa itu menunjukkan kebodohannya dengan menghampiri dan memungut mayat itu—persis seperti perkiraan Vesuvius.

"SEKARANG!" teriak Vesuvius.

Para prajurit melemparkan tambang, memerangkap punggung raksasa itu, mereka menahan tali di kedua sisi lalu menariknya untuk menjeratnya. Para prajurit lain pun serentak maju dan melemparkan tambang lebih banyak lagi, terus menerus, mengikat leher, lengan dan kaki raksasa itu. Mereka menarik tambang itu sekuat tenaga untuk mengikatnya, dan raksasa itu meronta-ronta, melawan sambil meraung-raung marah—namun sia-sia saja semua usahanya. Ia diikat dengan puluhan tambang yang kuat, dijerat oleh ratusan prajurit troll, ia tertelungkup jatuh ke tanah, meraung-raung tak kuasa melawan.

Vesuvius berjalan menghampiri dan berdiri di dekat raksasa itu, lalu memandangnya; ia puas akan penaklukan itu.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, ia dapat menyeringai dengan lebar.

"Sebentar lagi, Escalon akan jadi milikku," katanya perlahan, seolah menghayati kata demi kata yang terucap.

BAB DELAPAN BELAS

Kyra berdiri di depan jendela kamarnya, memandang fajar yang mulai menyingsing dari arah pedesaan, diliputi rasa was-was dan kekhawatiran. Ia telah melewati sebuah malam panjang yang dihantui oleh mimpi buruk, gelisah dan tak dapat tidur nyenyak setelah menguping pembicaraan ayahnya. Kata-kata itu masih terus terngiang di telinganya:

Tidakkah ia berhak untuk mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya?

Sepanjang malam ia bermimpi tentang seorang wanita dengan muka yang samar-samar tertutup kerudungnya; seorang wanita yang ia yakin adalah ibunya. Wanita itu menyentuhnya berulang kali, membuatnya tergeragap bangun dari tidurnya, namun tak mendapati siapa pun.

Kyra tak dapat membedakan manakah kenyataan dan manakah mimpinya, tak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan dusta. Berapa banyak rahasia yang mereka sembunyikan darinya? Mengapa mereka tak mau mengungkapkannya?

Akhirnya Kyra benar-benar terbangun pagi-pagi buta; ia meraba pipinya yang masih terasa nyeri akibat luka itu, dan ia masih terpikir akan ibunya. Selama ini, ia selalu diberi tahu bahwa ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ia tak punya satu pun alasan untuk tak memercayainya. Kyra merasa dirinya tak mirip dengan seorang pun di dalam keluarganya atau di dalam benteng ini; dan semakin ia memikirkan hal itu, semakin ia menyadari bahwa semua orang memandang dirinya dengan agak berbeda, seolah ia bukanlah benar-benar bagian dari mereka. Namun tak pernah terbayangkan olehnya bahwa ayahnya selama ini telah berbohong padanya, dengan menyembunyikan sebuah rahasia dari dirinya. Apakah ibunya masih hidup? Mengapa mereka harus menyembunyikan keberadaan ibunya dari Kyra?

 

Kyra berdiri dengan gemetar di dekat jendela, ia merasa takjub akan perubahan yang begitu besar dalam hidupnya sejak kemarin. Ia pun merasakan seolah api menjalar di dalam pembuluh darahnya, mengalir dari pipi ke bahunya, lalu turun ke pergelangan tangan, dan ia tahu dirinya kini bukanlah Kyra yang sebelumnya. Ia merasakan kehangatan naga itu mengalir dalam dirinya, berdenyut di dalam tubuhnya. Ia tak mengerti apa arti dari semua hal ini. Akankah ia kembali menjadi Kyra yang dahulu?

Kyra memandangi orang-orang di bawah; ratusan orang sibuk hilir mudik sepagi ini, dan ia terpukau melihat segala kesibukan itu. Biasanya, pada waktu sepagi ini suasana masih sepi. Namun kali ini berbeda. Para Pasukan Pengawal akan menyerang mereka bagaikan badai yang datang menerjang, dan seisi benteng mengerti bahwa akan jatuh korban. Hawa pun terasa berbeda. Biasanya, mereka semua adalah orang-orang yang lebih sering mengalah. Namun kali ini semangat mereka tampaknya telah bangkit, dan Kyra tergugah menyaksikan mereka bersiap-siap untuk sebuah pertempuran. Beberapa puluh anak buah ayahnya berjaga di sisi timur, melipatgandakan penjagaan di pintu gerbang, menutup pintu besi, bersiaga di balik dinding perlindungan, memasang palang di jendela dan menggali parit-parit pertahanan. Para pria memilih dan mengasah senjatanya, mengisi penuh kantong tempat anak panah, menyiapkan kuda-kuda tunggangan dan berkumpul di pelataran dengan rasa gugup. Mereka semua tengah bersiap-siap.

Kyra hampir tak dapat percaya bahwa dirinyalah pemicu semua ini; ia merasa bersalah, namun sekaligus bercampur dengan rasa bangga. Namun lebih dari semua itu, ia merasa takut. Ia tahu bahwa semua orang itu takkan mampu bertahan dari serangan serentak seluruh Pasukan Pengawal yang didukung oleh Kerajaan Pandesia. Mereka mungkin sanggup melawan, namun jika Pandesia telah mengerahkan seluruh kekuatannya, mereka pasti akan mati di dalam benteng ini.

"Syukurlah kau telah bangun," kata seseorang dengan gembira.

Kyra berpaling, dan begitu pula Leo yang berada di sampingnya; ia terkejut karena tak menyadari bahwa ada orang lain di benteng yang telah terbangun sepagi ini; dan ia lega melihat Anvin berdiri di depan pintu dengan senyum tersungging di bibirnya, bersama dengan Vidar, Arthfael, dan beberapa anak buah ayahnya yang lain. Saat mereka berdiri memandang dirinya, Kyra merasa bahwa mereka memandangnya dengan berbeda. Ada tatapan lain yang tersirat dari mata mereka: rasa hormat. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai seorang gadis muda, seorang pengamat, namun lebih seperti bagian dari diri mereka. Sama dengan mereka.

Tatapan itu membuat hatinya bangga, membuat ia merasa bahwa inilah buah yang layak ia dapatkan. Tak ada keinginannya yang lebih besar daripada mendapatkan rasa hormat dari para prajurit ini.

"Kau sudah sembuh?" tanya Vidar.

Kyra menutup dan membuka genggaman tangannya, lalu merentangkan kedua lengan, dan ia memang merasa telah lebih sehat—dan sebenarnya merasa jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Tatkala Kyra mengangguk ke arah mereka, ia pun merasa bahwa mereka memandang dirinya dengan tatapan yang menyiratkan rasa takut. Seolah-olah di dalam dirinya terdapat semacam kekuatan yang tak mereka pahami atau tak mereka percayai.

"Aku merasa bagai terlahir kembali," balas Kyra.

Anvin tersenyum makin lebar.

"Baguslah," katanya. "Kau akan membutuhkan kekuatanmu. Kita akan memerlukan semua orang yang ada."

Ia balas menatap mereka dengan terkejut dan bersemangat.

"Apakah kalian mengajakku untuk bertempur bersama kalian semua?" tanyanya dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Tak ada berita yang lebih menggembirakan baginya.

Arthfael tersenyum dan mendekat, menepuk bahunya.

"Jangan beritahu ayahmu," katanya.

Leo maju menghampiri dan menjilat-jilat tangan mereka, dan mereka semua balas mengelus kepalanya.

"Kami punya sedikit hadiah untukmu," kata Vidar.

Kyra terkejut.

"Hadiah?" tanyanya.

"Anggaplah ini sebuah ucapan selamat datang, hanya hadiah kecil agar kau lupa pada pipimu yang tergores," kata Arthfael.

Ia bergeser, lalu prajurit yang lain pun mengikutinya, dan Kyra paham bahwa ini adalah ajakan baginya agar ikut dengan mereka. Tak ada yang lebih diingininya daripada hal ini. Ia tersenyum, inilah kegembiraan yang baru pertama kali ia rasakan.

"Apakah itu adalah syarat untuk diundang bergabung menjadi prajuritmu?" tanya Kyra sembari tersenyum. "Yaitu aku harus membunuh lima orang Pasukan Pengawal?"

"Tiga," jawab Arthfael meluruskan. "Seingatku, Leo telah membunuh dua orang dari mereka."

"Ya," kata Anvin. "Dan selamat dari perjumpaan dengan seekor naga juga menjadi pertimbangan tersendiri."

*

Kyra berjalan bersama para prajurit itu melintasi pelataran benteng dan Leo mengikuti di sampingnya; sepatu bot mereka menancap di permukaan salju, gairah mereka menyala melihat seluruh persiapan di sekitarnya; benteng itu terlihat sibuk, kegentingan terasa sekali, dan begitu hiruk pikuk saat hari masih sepagi ini. Ia berjalan melintasi para tukang kayu, tukang sepatu, perajin pelana kuda, tukang bangunan, dan mereka semua tengah bekerja keras menangani bagiannya masing-masing, dan banyak orang terlihat tengah mengasah pedang dan senjata tajam lain menggunakan batu asahan. Saat itu, Kyra merasa semua orang terhenti sejenak dari pekerjaannya lalu menatap dirinya; telinganya pun terasa panas. Mereka pasti tahu mengapa Pasukan Pengawal hendak menyerang, yaitu akibat ulah Kyra. Ia merasa dirinya terlalu menyolok, dan ia khawatir mereka akan membenci dirinya.

Namun ia terkejut saat menyadari bahwa mereka memandang dirinya dengan tatapan kagum—dan dengan sebuah tatapan lain, mungkin menyiratkan rasa takut. Mereka pastinya telah mendengar kabar bahwa dirinya baru saja selamat setelah bertemu dengan seekor naga, dan tampaknya kini mereka tak tahu harus bersikap seperti apa pada dirinya.

Kyra mendongakkan kepala dan menyapukan pandangan ke angkasa, berharap ia akan melihat Theos di sana, dengan tubuh yang telah pulih, terbang tinggi berputar-putar mengitari dirinya. Namun ia tak melihat apa pun di sana. Di manakah Theos? Kyra bertanya-tanya. Apakah ia selamat? Apakah ia dapat kembali terbang? Apakah ia tengah menyeberang kembali ke dunianya?

Saat berjalan melintasi benteng, Kyra penasaran ke manakah mereka akan membawa dirinya dan hadiah apa yang akan mereka berikan padanya?

"Ke mana kita akan pergi?" tanyanya pada Anvin saat mereka menyusuri jalan sempit berlantai batu. Mereka melewati para penduduk desa yang tengah menggali tumpukan salju, sementara lapis-lapis es dan salju yang besar melorot jatuh dari atap tanah liat. Asap membumbung dari cerobong di seluruh penjuru desa, aromanya tercium di udara musim dingin.

Mereka berbelok ke sebuah jalan lain dan Kyra melihat sebuah rumah yang besar dengan dinding batu rendah, terselimuti salju, dengan pintu dari kayu ek merah; segera saja ia menyadari bahwa rumah itu terpisah dari deretan rumah-rumah lainnya.

"Bukankah itu adalah bengkel pandai besi?" tanya Kyra.

"Benar," jawab Anvin sembari terus berjalan.

"Tapi mengapa kau mengajakku kemari?" tanya Kyra.

Mereka tiba di depan pintu, dan Vidar tersenyum sembari membukanya lalu melangkah masuk.

"Lihatlah sendiri."

Kyra merunduk memasuki gawangan pintu yang rendah di bengkel itu, lalu Leo mengikutinya dan para prajurit lain pun mengekor di belakangnya; setelah tiba di dalam, ia merasakan hawa panas dari api yang digunakan untuk menempa besi. Segera saja ia melihat sebilah senjata tergeletak di sebuah paron besi, dan ia mengamatinya dengan takjub: banyak pedang dan kapak yang tengah diselesaikan; sebagian masih merah membara, sebagian lagi masih ditempa.

Sang pandai besi duduk dengan tiga pembantunya, dengan wajah berjelaga, lalu mereka memandang dengan raut muka datar dan jenggot hitamnya yang lebat. Tempat ini dipenuhi dengan senjata—tergeletak di sana-sini, di lantai, tergantung di cantelan, dan tampaknya pandai besi satu ini mengerjakan lusinan senjata itu secara serentak. Kyra mengenal Brot, si pandai besi, seorang pria pendek dan kekar, dengan kening yang selalu mengernyit karena berkonsentrasi; ia adalah seorang pria serius yang tak banyak bicara, dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk membuat senjata. Ia terkenal sebagai seorang pria yang keras dan tak peduli pada orang lain—yang ada dalam pikirannya hanyalah sepotong besi yang akan ditempanya.

Namun dari beberapa kali percakapan antara Kyra dengan dirinya, Brot menunjukkan bahwa di balik pembawaannya yang kasar, ternyata ia adalah seorang pria yang baik hati, dan sangat bersemangat saat bicara soal senjata. Ia merasakan ikatan batin antara dirinya dengan Kyra, karena mereka berdua sama-sama menyukai senjata.

"Kyra," sapanya, senang melihat kedatangannya. "Duduklah."

Kyra pun duduk di sebuah bangku kosong di hadapannya, memunggungi perapian dan merasakan hawa panasnya. Anvin dan para prajurit lain berkerumun mengelilingi mereka berdua, dan semuanya mengamati Brot mengerjakan senjata-senjata itu: tombak, sabit, gada dengan bola duri yang baru setengah jadi, dan rantainya masih harus ditempa. Kyra melihat sebilah pedang dengan tepian mata yang masih kasar, menunggu untuk diasah hingga halus. Para pembantunya bekerja di belakang Brot, denting peralatan mereka bertalu-talu di udara. Seorang pembantunya menggepuk sebuah kapak, bunga api terpercik ke segala arah, sedangkan pembantunya yang lain memegang sebuah penjepit panjang lalu mengeluarkan sepotong besi putih yang masih panas membara dari perapian, lalu meletakkannya pada paron dan bersiap untuk menempanya. Pembantunya yang ketiga memegang penjepit untuk memindahkan sebuah tombak bermata kapak dari paron, lalu memindahkannya ke dalam sebuah bak besi; air berdesis saat senjata itu dicelupkan dan uap air bergumpal-gumpal mengudara.

Bagi Kyra, bengkel pandai besi ini selalu menjadi tempat yang paling menarik di Volis.

Tatkala Kyra mengamati Brot, jantungnya berdegup lebih kencang karena penasaran hadiah apa yang telah disiapkan olehnya.

"Aku mendengar tentang keberanianmu," kata Brot tanpa mengalihkan pandangannya dari sebilah pedang yang tengah diamatinya; ia sedang menimbang berat pedang itu. Pedang itu adalah salah satu pedang terpanjang yang pernah Kyra lihat, dan ia mengernyit dan menyipitkan matanya saat Brot memegang bilah pedang itu dengan pandangan yang tak puas.

Kyra paham bahwa ia sebaiknya tak menyela Brot, maka ia diam menunggu dengan sabar hingga Brot melanjutkan kata-katanya.

"Memalukan," kata Brot pada akhirnya.

Kyra menatap orang itu dengan kebingungan.

"Apanya?" tanyanya.

"Kau tidak membunuh pemuda itu," kata Brot. "Kita tak akan bersusah payah seperti ini jika saja kau membunuhnya, benar?"

Brot masih berbicara tanpa memandang Kyra; ia masih menimbang pedang itu, dan wajah Kyra pun merah karena merasa ucapan Brot itu benar adanya, namun Kyra sama sekali tak menyesali tindakannya itu.

"Satu pelajaran untukmu," imbuh Brot. "Bunuhlah mereka semua, selalu. Kau mengerti maksudku?" tanya Brot dengan suara ketus, sembari mengangkat wajahnya dan menatap mata Kyra dengan bersungguh-sungguh. “Bunuhlah mereka semua.”

Meskipun ketus dan blak-blakan, namun Kyra mengaguminya karena Brot selalu mengatakan apa yang ia yakini, dan mengatakan apa yang tak berani dikatakan oleh orang lain. Kyra pun mengagumi keberaniannya, karena memiliki senjata tajam adalah sebuah tindakan melawan hukum Pandesia, dan hukumannya adalah hukuman mati. Anak buah ayahnya diizinkan memiliki senjata karena mereka harus menjaga Benteng Api—namun Brot juga diam-diam menempa senjata untuk seluruh prajurit itu, membantu menyediakan senjata bagi pasukan rahasia. Ia bisa saja ditangkap dan dihukum mati kapan pun, namun ia tak pernah melarikan diri dari kewajibannya.

"Inikah alasanmu memanggilku?" tanya Kyra heran. "Untuk menasihatiku soal membunuh lawan?"

Brot menempa sebuah pedang pada paron di depannya, terus bekerja dan tak mengacuhkan Kyra hingga ia selesaikan pekerjaannya. Dengan kepala yang tetap tertunduk, Brot berkata:

"Bukan. Tetapi untuk membantumu membunuh mereka."

Mata Kyra mengerjap, ia kebingungan, dan Brot mengulurkan tangan lalu memberi isyarat pada salah satu pembantunya yang bergegas menyerahkan sebuah benda padanya.

Brot menatap Kyra.

"Kudengar kau kehilangan dua buah senjata malam itu," katanya. "Sebuah busur dan anak panah, benar?"

 

Kyra mengangguk, menduga-duga arah pembicaraannya.

Brot menggelengkan kepala.

"Itu semua karena kau bermain-main dengan tongkat. Senjata mainan anak-anak. Kau telah membunuh lima Pasukan Pengawal dan menghadapi seekor naga dan masih selamat, dan itu melebihi pengalaman semua orang di tempat ini. Sekarang kau adalah seorang prajurit, dan kau layak menyandang senjata seorang prajurit."

Ia menerima benda yang diberikan oleh salah satu pembantunya, lalu berbalik dan meletakkan sebuah benda panjang yang terbungkus kain beludru merah di atas meja.

Kyra menatap Brot dengan ragu-ragu, jantungnya berdegup karena was-was, lalu Brot menganggukkan kepala.

Kyra mengambilnya, perlahan melepaskan kain merah itu dan melongo melihatnya: di hadapannya terdapat sebuah busur panah yang besar, dengan gagang berukir, penuh hiasan dan berlapis logam tipis nan mengkilap. Belum pernah sekali pun ia melihat busur seperti itu.

"Besi Alkan," urai Brot saat Kyra mengangkat dan mengagumi betapa ringannya busur itu. "Besi terkuat di dunia—sekaligus besi paling ringan. Sangat langka, hanya dipakai oleh para raja. Para prajurit inilah yang membelinya—dan anak buahku menempanya sepanjang malam tadi."

Kyra berpaling dan melihat Anvin serta prajurit lainnya memandangnya sambil tersenyum, dan hati Kyra pun bersyukur.

"Rasakanlah," anjur Brot. "Ayolah."

Kyra memegang dan merasakan seberapa ringan busur itu; ia kagum karena busur itu pas sekali dengan genggaman tangannya.

"Busur ini bahkan lebih ringan daripada busur kayuku," kata Kyra dengan heran.

"Di balik lapisan logam itu, terdapat kayu Beechum," kata Brot. "Kayu ini lebih kuat daripada busur kayu milikmu—dan lebih ringan. Busur ini takkan pernah patah—dan anak panahmu akan melesat lebih jauh."

Kyra mengagumi busur itu; ia tak mampu berkata-kata, karena merasa bahwa busur itu adalah barang terbaik yang pernah dibuatkan untukknya. Brot mengulurkan sebuah kantong anak panah yang terisi penuh, dan semua mata panahnya mengkilat karena masih baru; saat Kyra meraba salah satu ujungnya, ia terkesima mendapati betapa tajamnya mata panah itu. Kyra mengamati karya mereka yang rumit itu.

"Mata panah berduri," kata Brot dengan bangga. "Sekali menancap, mata panah itu tak akan dapat dicabut. Mata panah itu dirancang untuk menjadi senjata pembunuh."

Kyra memandang Brot dan semua orang di situ; kegembiraannya meluap, tak tahu harus berkata apa. Yang membuatnya sangat senang bukanlah semata-mata senjata yang dihadiahkan untuknya itu, namun bahwa mereka semua benar-benar berusaha memberikan yang terbaik bagi dirinya.

"Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih pada kalian," kata Kyra. "Aku harus melakukan yang terbaik untuk menghormati usaha kalian, dan agar aku layak menerima senjata ini."

"Aku belum selesai," tukas Brot. "Ulurkan tanganmu."

Kyra pun mengulurkan tangannya dengan diliputi tanda tanya, lalu Brot mendekat dan memeriksanya, menyingsingkan lengan bajunya lalu mengamati tangan Kyra. Akhirnya Brot mengangguk puas.

"Cocok sekali," kata Brot.

Brot mengangguk pada salah seorang pembantunya yang mendekat sambil membawa dua buah benda mengkilat, lalu mengaitkannya pada pergelangan tangan Kyra. Saat logam yang dingin itu menyentuh kulitnya, Kyra terkejut bukan kepalang karena kedua benda itu ternyata adalah sarung pelindung lengan, yang tipis dan panjang. Sarung itu melindungi pergelangan tangan hingga sikunya, dan saat dipasangkan pada tangan Kyra, ukurannya sangatlah pas.

Kyra menekuk sikunya, mencoba sarung pelindung itu, dan saat itu ia merasa begitu gagah, seakan sarung pelindung itu menyatu dengan kulitnya. Sarung itu begitu ringan namun sangat kuat, melindungi pergelangan tangan hingga sikunya.

"Sarung pelindung," ujar Brot. "Cukup tipis hingga tanganmu masih dapat bergerak bebas, namun sangat kuat menahan tebasan pedang mana pun." Brot memandang Kyra. "Sarung itu bukan hanya akan melindungi tanganmu dari lecutan tali busur saat kau memanah—ukurannya pun sangat panjang, dan terbuat dari besi Alkan juga. Sarung itu akan menggantikan perisai. Inilah baju zirahmu. Jika musuh menyerangmu dengan pedang, kini kau punya sesuatu untuk melindungi diri."

Tiba-tiba Brot mengambil sebilah pedang dari atas meja, mengangkatnya tinggi-tinggi dan menebaskannya ke arah kepala Kyra.

Kyra terkejut, dan seketika ia menangkisnya dengan tangan yang terbalut sarung pelindung baru itu—lantas ia pun takjub ketika bunga api terpercik saat sarung pelindung itu menangkis pedang Brot.

Brot tersenyum, lalu menurunkan pedangnya dan merasa puas.

Kyra mengamati sarung pelindungnya, dan ia merasa amat senang.

"Kau telah memberikan segala yang kuinginkan," kata Kyra sembari hendak merangkul mereka semua.

Namun Brot mengangkat tangannya lalu menghadang Kyra.

"Belum semua," ujar Brot.

Brot memberi isyarat pada pembantunya yang ketiga, yang membawa sebuah benda panjang yang terbungkus kain beludru hitam.

Kyra memandangi benda itu dengan penasaran, lalu menyandangkan busur itu di bahu lantas meraih benda itu. Perlahan ia membuka kain selubungnya, dan tatkala melihat isinya, seketika nafasnya tercekat.

Itu adalah sebuah tongkat, sebuah maha karya indah, lebih panjang daripada tongkat miliknya, dan yang paling hebat, tongkat baru itu begitu berkilau. Seperti busurnya, tongkat itu pun berlapis besi Alkan tipis, dan cahaya berkilat terpantul dari permukaannya. Namun meskipun berselubung besi, saat menggenggamnya Kyra merasa bahwa tongkat itu jauh lebih ringan daripada tongkatnya yang lama.

"Lain kali, saat mereka menebasnya, tongkatmu ini takkan patah," ujar Brot. "Dan saat kau memukul seorang lawan, pukulanmu akan lebih kuat. Tongkat ini adalah sebuah senjata, dan sekaligus sebuah perisai. Dan bukan cuma itu," ujarnya sembari menunjuk tongkat baru itu.

Kyra memandang penuh kebingungan pada tongkat itu, ia tak mengerti apa yang ditunjuk oleh Brot.

"Puntirlah tongkat itu," katanya.

Kyra pun menurutinya dan ia terkejut, melihat tongkat itu terpisah menjadi dua bagian yang sama panjang. Pada masing-masing ujungnya tertanam sebilah pisau tajam sepanjang beberapa inchi.

Kyra memandangnya dengan takjub, dan Brot hanya tersenyum.

"Kini kau punya lebih banyak cara untuk membunuh lawanmu," katanya.

Kyra memandangi bilah pisau yang berkilau itu, karya terbaik yang pernah dilihatnya, dan ia benar-benar kagum. Brot menempa senjata itu khusus untuk Kyra, menjadi sebuah tongkat yang sekaligus adalah dua buah tombak pendek, senjata yang sesuai dengan kekuatan Kyra. Kyra menangkupkan tongkat itu hingga kembali menyatu, sambungannya tak kentara hingga ia tak menyangka bahwa tongkat itu adalah sebuah senjata rahasia.

Ia memandang Brot dan semua orang di situ, air matanya menetes.

"Entah bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian," kata Kyra.

"Kau sudah berterima kasih," kata Anvin sembari mendekat. "Kau telah memberi kami sebuah pertempuran—sebuah pertempuran yang tak berani kami mulai. Kau membuat kami semua senang."

Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba rentetan suara terompet berbunyi dari kejauhan, sambung menyambung bergema di seluruh penjuru benteng.

Mereka saling berpandangan, dan semua mengerti apa artinya: pertempuran telah dimulai.

Para Pasukan Pengawal telah tiba.