Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

BAB DUA

Kyra memasuki Hutan Akasia yang suram di sebelah barat benteng, sebuah hutan yang amat lebat hingga sulit untuk melihat ada apa di dalamnya. Ia berjalan menembus hutan bersama dengan Leo, salju dan es bergemeretak di bawah kaki mereka, lalu ia menatap ke atas. Ia merasa kerdil di antara pohon-pohon akasia berduri yang seolah menjulang tinggi tanpa batas. Pohon-pohon hitam itu sudah sangat tua, dengan cabang-cabang yang saling berkelindan mirip duri, serta daunnya yang tebal dan hitam. Ia merasa hutan ini adalah sebuah tempat yang terkutuk; yang ada di sini hanyalah segala rupa nasib buruk. Anak buah ayahnya kembali dalam keadaan terluka setelah berburu di sini, dan entah sudah berapa kali para troll yang berhasil masuk ke Benteng Api bersembunyi di hutan ini dan menjadikannya sebagai tempat persiapan untuk menyerang penduduk desa.

Saat Kyra melangkah masuk ke hutan itu, segera saja ia merasakan hawa dingin yang mencekat. Hutan itu terasa lebih gelap, lebih dingin, udaranya lebih lembap, aroma pohon-pohon akasia tercium kuat, baunya seperti tanah yang membusuk, dan batangnya yang tinggi besar menghalangi berkas-berkas cahaya siang. Dalam kewaspadaannya, Kyra masih merasa geram pada kedua kakaknya. Berkeliaran di dalam hutan ini tanpa pengawalan para pasukan sangatlah berbahaya, terlebih pada senja hari. Setiap suara yang terdengar membuatnya kaget. Lalu terdengarlah suara jeritan hewan di kejauhan, lantas ia tersentak, membalikkan badan dan mencari asal datangnya suara. Namun hutan itu terlalu lebat sehingga ia tak mampu menemukannya.

Tetapi Leo menggeram di sampingnya, dan tiba-tiba berlari menghampiri suara tadi.

"Leo!" panggilnya.

Tetapi serigala itu telah berlalu.

Kyra mendengus kesal; begitulah selalu ulah Leo saat melihat binatang lain. Toh ia yakin, nanti Leo pasti akan kembali lagi padanya.

Kyra pun melanjutkan langkahnya, kali ini sendirian, sementara hutan bertambah gelap dan ia masih terus berusaha mencari jejak saudara-saudaranya—dan sekonyong-konyong ia mendengar suara tawa pecah di kejauhan. Ia memerhatikan, lalu berpaling ke arah datangnya suara dan melewati pepohonan yang lebat hingga menemukan saudara-saudaranya di depan.

Kyra memperlambat langkahnya, menjaga jarak dari mereka agar mereka tak tahu keberadaannya di situ. Ia paham, jika Aidan melihatnya maka ia akan merasa malu dan menyuruhnya kembali. Kyra memutuskan hanya akan mengawasi dengan diam-diam, hanya demi memastikan bahwa mereka semua baik-baik saja. Alangkah lebih baik untuk tidak mempermalukan Aidan, agar ia dapat merasakan dirinya menjadi seorang laki-laki sejati.

Sebatang ranting berderak saat terinjak dan Kyra segera merunduk, khawatir bunyi itu membuatnya ketahuan—namun kedua kakaknya yang mabuk tak menyadarinya, jarak mereka lima belas depa darinya, dan mereka berjalan dengan cepat sehingga bunyi itu tenggelam dalam gelak tawa mereka. Dari gerak-gerik tubuhnya, Kyra tahu bahwa Aidan merasa tegang, bahkan hampir menangis. Ia menggenggam tombak dengan erat, seolah ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang laki-laki, namun genggaman itu terlihat canggung pada tombak sebesari tiu, dan Aidan sendiri kesusahan menahan tombak seberat itu.

"Kemarilah!" teriak Braxton sambil berpaling ke arah Aidan yang tertinggal beberapa langkah darinya.

"Apa yang kau takutkan?" kata Brandon padanya.

"Aku tak takut—" Aidan bersikukuh.

"Diam!" sekonyong-konyong Brandon menghardik, menghentikan langkahnya dan menahankan telapak tangan di dada Aidan; kali ini raut mukanya terlihat serius. Braxton berhenti pula, dan mereka semua terlihat tegang.

Kyra bersembunyi di balik pohon sembari tetap mengawasi saudara-saudaranya. Mereka berdiri tepat di batas tanah terbuka, memandang lurus ke depan seolah tengah mengamati sesuatu.

Kyra merangkak maju dengan waspada, berusaha agar dapat melihat dengan lebih baik, dan saat ia menyelinap di antara dua buah pohon besar, langkahnya terhenti; ia tertegun karena sosok yang dilihatnya. Tampak olehnya seekor babi hutan yang tengah merumput sendirian di padang itu. Itu bukan babi hutan biasa; itu adalah Babi Hutan Tanduk Hitam yang mengerikan, babi hutan terbesar yang pernah ia temui, dengan taring putih panjang melengkung dan tiga tanduk hitam yang panjang dan tajam; satu buah tanduk mencuat dari moncongnya dan dua yang lain di atas batok kepalanya. Badannya hampir sebesar beruang, dan babi hutan semacam itu adalah hewan langka yang terkenal akan keganasan dan gerakannya yang secepat kilat. Babi hutan ini sangat ditakuti, dan tak ada seorang pun pemburu yang ingin bertemu dengannya.

Ini masalah besar.

Bulu di lengan Kyra meremang; ia berharap Leo ada di situ saat itu—namun ia pun bersyukur Leo tak ada, karena ia tahu Leo pasti akan segera menyergap babi hutan itu dan ia tak yakin apakah Leo mampu mengalahkannya. Kyra melangkah maju, perlahan melepaskan busur dari bahunya dan nalurinya menuntun tangannya meraih anak panah. Ia mencoba mengira-ngira jarak antara babi hutan itu dengan saudara-saudaranya, dan seberapa jauh ia berdiri dari hewan itu—dan ia merasa posisinya tak menguntungkan. Terlalu banyak pohon menghalangi untuknya melepaskan bidikan yang jitu—dan dengan babi hutan sebesar itu, ia tak boleh salah sedikit pun. Ia ragu apakah satu anak panah cukup untuk melumpuhkannya.

Kyra melihat raut ketakutan di muka kedua kakaknya, lalu Brandon dan Braxton menutupi rasa takutnya dengan berpura-pura menjadi pemberani—ia yakin itu pasti karena mereka tengah mabuk. Mereka berdua merengkuh tombak dan maju beberapa langkah. Demi melihat Aidan yang berdiri terpaku, Braxton berbalik lalu menarik bahu adiknya itu, kemudian memaksanya ikut melangkah maju.

"Inilah kesempatanmu untuk membuktikan diri sebagai seorang laki-laki," kata Braxton. "Bunuh babi hutan itu, dan mereka akan terus menyanjungmu."

"Bawa kepalanya dan kau akan menjadi tenar selamanya," kata Brandon.

"Aku...aku takut," jawab Aidan.

Brandon dan Braxton mencemooh lalu tertawa mengejek.

"Takut?" kata Brandon. "Lalu apa yang akan dikatakan oleh Ayah jika ia mendengarmu mengatakannya?"

Babi hutan itu bersiaga; ia mengangkat kepalanya, memperlihatkan mata kuningnya yang berkilat dan menatap mereka; mukanya mengernyit marah. Ia menyeringai memperlihatkan taringnya dan air liurnya menetes, sembari mengeluarkan geraman ganasnya yang berasal dari perutnya. Meskipun dari kejauhan, Kyra dapat merasakan ketakutan yang tiba-tiba menyergap—dan ia hanya dapat membayangkan seperti apa takutnya Aidan.

Kyra berlari tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, ia harus segera bertindak sebelum terlambat. Saat tinggal beberapa langkah lagi dari saudara-saudaranya, ia berseru:

"Minggir!"

Suaranya yang lantang memecah kesunyian, dan mereka pun berpaling karena terkejut.

"Cukup sudah main-mainnya," imbuh Kyra. "Biarkan saja."

Aidan tampak lega, namun Brandon dan Braxton merengut pada Kyra.

"Mau apa kau?" Hardik Brandon. "Berhentilah mengganggu laki-laki sejati."

Babi hutan itu menggeram makin dalam sembari melangkah ke arah mereka, dan Kyra pun, antara takut dan marah, melangkah maju.

"Jika kalian cukup tolol untuk menghadapi binatang ini, majulah," katanya. "Namun biarkan Aidan bersamaku saja di sini."

Brandon masam.

"Aidan akan baik-baik saja," balas Brandon. "Ia akan belajar caranya bertarung. Bukan begitu, Aidan?"

Aidan berdiri membisu, tertegun oleh rasa takutnya.

Kyra hendak melangkah maju dan merengkuh lengan Aidan tatkala didengarnya suara gemerisik dari padang di depannya. Ia melihat babi hutan itu mendekat, selangkah demi selangkah penuh ancaman.

"Babi hutan itu takkan menyerang jika tak diganggu," ujar Kyra meyakinkan kedua kakaknya. "Biarkan saja."

Namun kedua kakaknya mengabaikan kata-kata Kyra, lalu berbalik dan menghadapi binatang itu dan mengangkat tombaknya. Mereka maju ke arah padang, seolah hendak membuktikan betapa pemberaninya mereka.

"Aku akan mengincar kepalanya," kata Brandon.

"Dan aku akan membidik kerongkongannya," timpal Braxton.

Babi hutan itu menggeram makin keras, mulutnya menyeringai makin lebar, liurnya menetes, dan langkahnya mulai mengancam.

"Kembali kemari!" Kyra berteriak kehabisan akal.

Namun Brandon dan Braxton tak menyurutkan langkah, mengangkat tombaknya dan dengan cepat menghunjamkannya.

Kyra melihat dengan tegang saat tombak itu meluncur di udara, bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Seperti yang dicemaskannya, ia melihat tombak Brandon menggores telinga babi hutan itu, cukup untuk membuatnya mengucurkan darah—sekaligus membuatnya marah—, sedangkan tombak Braxton meleset, melenceng beberapa kaki jauhnya dari kepala babi hutan.

Untuk kali pertama, Brandon dan Braxton tampak ketakutan. Mereka berdiri terpaku dengan mulut menganga dan raut muka tolol, gelora yang timbul akibat minuman mereka yang memabukkan kini tergantikan oleh rasa takut.

Babi hutan yang marah itu merundukkan kepalanya, ia menggeram dengan suara mengerikan, dan sekejap kemudian berlari menyeruduk.

Kyra memandang dengan ngeri saat babi hutan itu menyerang kedua kakaknya. Itulah gerakan tercepat yang pernah ia lihat dari seekor binatang berukuran sebesar babi hutan itu, yang berlari melintasi rumput bagaikan seekor rusa.

Saat babi hutan itu mendekat, Brandon dan Braxton lari menyelamatkan diri, tunggang langgang ke segala arah.

Tinggal Aidan yang berdiri di sana, terpaku seorang diri, bergeming dalam takut. Mulutnya ternganga, genggamannya mengendur dan tombak terlepas dari tangannya, terjatuh ke tanah. Namun kira tahu bahwa toh tak akan ada bedanya; Aidan takkan mampu bertahan meskipun ia mencobanya. Bahkan seorang pria dewasa pun takkan sanggup. Dan babi hutan yang menyadari betapa lemah adikna itu pun mengalihkan sasaranya pada Aidan dan mengincarnya.

 

Dengan jantung berdegup kencang, Kyra segera bertindak karena ia tahu bahwa itulah satu-satunya kesempatan yang dimilikinya. Tanpa pikir panjang, ia berlari maju lewat sela-sela pepohonan, dengan busur yang telah siap di genggamannya karena ia hanya punya satu kesempatan membidik, dan bidikannya harus tepat. Dalam keadaan kalut semacam itu, sulit sekali membidik dengan baik, pun bila babi hutan itu tidak sedang berlari—tapi ia harus membidik dengan sempurna jika ingin nyawanya selamat.

"AIDAN, TIARAP!" teriaknya.

Mulanya Aidan bergeming. Aidan menghalanginya untuk membidik dengan tepat, dan saat Kyra mengangkat busurnya lalu berlari maju, ia sadar bahwa jika Aidan tidak segera bergerak maka satu-satunya kesempatan itu akan terlewatkan. Berlari dalam hutan semacam itu membuat kakinya terpeleset salju dan tanah yang basah, dan ia sempat merasa bahwa kesempatannya akan hilang.

"AIDAN!" teriaknya lagi dengan putus asa.

Ajaibnya, kali ini Aidan mendengar teriakan itu lalu bertiarap tepat pada saat-saat terakhir sehingga memberi ruang bagi Kyra untuk melepaskan anak panahnya.

Saat babi hutan itu hendak menyerang Aidan, tiba-tiba waktu seolah berjalan melambat bagi Kyra. Ia merasa bagai memasuki sebuah dunia lain, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan sekaligus ia tak memahaminya. Dunia seolah menyempit dan terpusat di satu titik. Ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri, deru nafasnya, bunyi gemerisik dedaunan, dan burung-burung gagak yang berkoar-koar di udara. Ia merasa menyatu dengan alam lebih dari sebelumnya, seolah ia telah memasuki sebuah dunia di mana ia melebur dengan alam semesta.

Kyra merasa telapak tangannya dijalari suatu energi yang hangat dan menggelitik, dan ia tak mampu memahaminya; seolah ada kekuatan asing yang merasuk dalam tubuhnya. Seolah dalam sekejap saja ia berubah menjadi seseorang yang lebih besar dari dirinya sendiri, jauh lebih kuat.

Kyra memasuki alam bawah sadar di mana pikirannya tak lagi bekerja, dan ia membiarkan dirinya digerakkan oleh naluri yang murni, dan oleh kekuatan baru yang mengalir di dalam tubuhnya. Ia berdiri dengan kokoh, mengangkat busurnya, menyiapkan anak panah dan melesatkannya.

Tepat pada saat anak panah itu melesat, ia merasa bahwa bidikan itu adalah bidikan yang istimewa. Ia tak perlu mengarahkan ke mana anak panah itu harus melesat sesuai incarannya: mata kanan babi hutan itu. Ia memanah dengan sekuat tenaga sehingga anak panah itu menancap saat babi hutan itu tinggal berjarak nyaris satu kaki darinya sebelum akhirnya tumbang.

Babi hutan itu pun sekonyong-konyong mengerang saat kakinya saling tersandung, lalu roboh dengan kepala terjerembab. Tubuhnya tergelangsar dekat penghabisan tanah padang itu, menggeliat-geliat, masih bernyawa, hingga sampai di tempat Aidan. Akhirnya tubuh babi hutan itu berhenti tepat satu kaki jaraknya dari Aidan, amat dekat hingga nyaris bersentuhan dengannya.

Babi hutan itu mengejang di tanah, dan Kyra yang telah menyiapkan sebuah anak panah lagi, berjalan menghampirinya lalu berdiri mengangkangi tubuh babi hutan itu, kemudian ia hunjamkan lagi anak panah itu ke belakang batok kepala babi hutan. Akhirnya tubuh itu tak bergerak-gerak lagi.

Kyra berdiri membisu di tanah padang; jantungnya berdegup, rasa menggelitik di telapak tangannya berangsur surut, energi itu perlahan lenyap, dan ia terheran-heran atas apa yang baru saja terjadi. Benarkah ia yang memanah babi hutan itu?

Tiba-tiba ia teringat akan Aidan, dan saat ia meraih dan merengkuhnya, Aidan menatapnya seolah ia sedang menatap ibunya; matanya masih menyiratkan ketakutan, namun ia selamat. Ia merasakan setitik kelegaan saat menyadari bahwa dirinya baik-baik saja.

Kyra berpaling dan melihat kedua kakaknya masih bertiarap di tanah, sembari memandangnya dengan tertegun—dan kagum. Namun ada isyarat lain dalam tatapan mata mereka, sesuatu yang membuatnya gusar: kecurigaan. Seolah Kyra berbeda dengan mereka. Bagai seorang asing. Itu adalah tatap mata yang pernah Kyra lihat sebelumnya, kadang-kadang saja, namun cukup sering untuk membuat kira pun terheran-heran akan dirinya sendiri. Ia berbalik dan memandang binatang yang telah tewas itu, binatang yang mengerikan, besar; ia tertegun dan keheranan, bagaimana mungkin seorang gadis berusia lima belas tahun seperti dirinya mampu melakukan hal ini. Ia tahu bahwa ini di luar kemampuannya. Ini bukan sekadar bidikan yang beruntung.

Selalu ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari saudara-saudaranya. Ia berdiri saja di sana, membeku, ingin rasanya bergerak namun tak sanggup. Ia tahu bahwa yang membuatnya terguncang bukanlah binatang buas itu, melainkan cara kedua kakaknya memandang dirinya. Dan untuk kesekian kalinya ia tak mampu memahami jawaban dari pertanyaan yang tak pernah berani ia cari seumur hidupnya.

Siapakah sebenarnya dirinya?

BAB TIGA

Kyra berjalan di belakang saudara-saudaranya menyusuri jalan kembali ke benteng, sambil memandang mereka yang kerepotan memanggul beratnya babi hutan itu; Aidan ada di sampingnya dan Leo mengikutinya di belakang, ia telah kembali dari perburuannya sendiri. Brandon dan Braxton bersusah payah membawa binatang yang telah mati itu, yang terikat pada kedua tombak mereka dan dipanggulnya di bahu. Suasana hati mereka yang suram telah berubah drastis sejak keluar dari hutan dan kembali melihat langit luas, apalagi kini benteng ayah mereka telah terlihat. Langkah demi langkah, kepercayaan diri Brandon dan Braxton telah kembali, sebentar lagi kesombongan mereka akan muncul lagi; saat ini mereka mulai tertawa-tawa dan saling menggoda sembari membual tentang hasil buruan mereka.

"Tombakkulah yang menggores babi hutan itu," kata Brandon paa Braxton.

Braxton menimpali "Tetapi, tombakku yang membuatnya berlari ke arah panah Kyra."

Kyra menyimak, mukanya merah mendengar bualan mereka; kedua kakaknya yang bodoh lagi keras kepala itu mulai meyakinkan diri tentang cerita bualan mereka sendiri, dan sepertinya kini mereka mulai mempercayainya. Kyra telah siap dengan bualan mereka saat kembali ke benteng ayahnya nanti, kemudian mereka akan bercerita pada semua orang tentang buruan yang mereka bunuh itu.

Benar-benar menyebalkan! Namun ia merasa bukan tugasnya untuk menegur mereka. Ia benar-benar yakin akan roda keadilan, dan ia tahu bahwa pada akhirnya, kebenaran akan selalu terbukti.

"Dasar pembohong," kata Aidan sembari berjalan di belakang Kyra; tampak jelas bahwa Aidan masih gemetaran karena kejadian di hutan tadi. "Kalian tahu bahwa Kyra-lah yang membunuh babi hutan itu."

Brandon melirik sekilas ke belakang sekenanya, seolah Aidan tak lebih dari seekor serangga saja.

"Dan kau sendiri?" tanyanya pada Aidan. "Kau sibuk terkencing-kencing di celana."

Mereka berdua tertawa tergelak, seakan makin menegaskan bualan mereka.

"Dan kau tidak lari ketakutan?" tanya Kyra membela Aidan; ia sudah tak tahan lagi.

Mendengar itu, kedua kakaknya hanya bisa terdiam. Kyra dapat dengan mudah membungkam mereka—namun ia tak perlu berkata dengan suara yang meninggi. Kyra berjalan dengan riang, merasa senang pada dirinya sendiri karena dalam hati ia merasa telah menyelamatkan nyawa saudaranya; itu sajalah kepuasan yang ingin ia dapatkan.

Kyra merasa sebuah tangan kecil menyentuh bahunya, dan ia menoleh kepada Aidan yang tersenyum dan menghiburnya; tergambar jelas raut muka penuh syukur karena ia selamat dan baik-baik saja. Kyra bertanya-tanya adakah kedua kakaknya itu juga menghargai apa yang telah ia lakukan bagi mereka; toh, andaikan ia tak muncul tepat pada waktunya, mereka berdua juga akan tewas oleh babi hutan itu.

Kyra memandang babi hutan yang bergucang-guncang di depannya seiring tiap langkah kaki, dan ia pun menyeringai; ia berharap kedua kakaknya membiarkan saja babi hutan itu di ladang, tempat ia seharusnya berada. Babi hutan itu adalah binatang yang terkutuk, bukan milik Volis, dan tempatnya bukanlah di sini. Binatang itu adalah pertanda buruk, apalagi asalnya dari Hutan Akasia, lagipula ini adalah perayaan Bulan Musim Dingin. Ia teringat sebuah pepatah kuno yang pernah dibacanya: jangan membual setelah luput dari maut. Ia merasa bahwa kedua kakaknya itu bermain-main dengan takdir, mengundang malapetaka ke rumah. Ia tak dapat berbuat apa-apa, namun tampaknya akan muncul hal-hal yang buruk.

Mereka mendaki bukit dan setelah tiba di puncaknya, terlihatlah benteng ayahnya terbentang di depan mereka, dengan seluruh pemandangan yang melingkunginya. Meskipun angin bertiup makin kencang dan salju turun makin deras, Kyra merasakan kelegaan karena telah pulang ke rumah. Asap membumbung dari cerobong yang tampak bagai noktah hitam di sekitar pedesaan dan benteng ayahnya memancarkan pendar lembut dan redup, penuh dengan nyala api yang temaram, menerangi senja yang mulai datang. Jalanan mulai melebar, lebih rata saat makin dekat dengan jembatan, dan mereka mempercepat langkah serta berjalan dengan lebih bersemangat saat makin dekat dengan benteng. Jalan itu sibuk dengan hilir mudik orang, mereka bersemangat menyambut datangnya pesta perayaan meskipun di tengah cuaca yang buruk dan malam yang hampir tiba.

Kyra keheranan. Pesta perayaan Bulan Musim Dingin adalah salah satu perayaan terpenting dalam setiap tahun, dan semua orang sibuk mempersiapkan pesta itu. Banyak orang berkerumun di atas jembatan gantung, bergegas membeli barang-barang dari pedagang untuk mengikuti pesta di dalam benteng—sementara orang-orang yang keluar dari gerbang pun tak kalah banyaknya, bergegas pulang ke rumah untuk merayakannya bersama keluarga. Lembu-lembu menarik pedati dan mengangkut barang dari kedua arah, sementara para tukang batu menggepuk dan membelah batu di dekat tembok yang baru dibangun mengelilingi benteng; denting palu yang beradu terdengar di udara, bergantian dengan suara ternak dan lolongan anjing. Kyra tak paham bagaimana mereka mampu terus bekerja di tengah cuaca seperti ini, bagaimana tangan mereka tak membeku kedinginan.

Saat tiba di jembatan, mereka pun berbaur dengan orang banyak, lalu Kyra memandang jauh ke depan dan merasa muak karena apa yang dilihatnya di dekat gerbang benteng, yaitu beberapa Pasukan Pengawal, para prajurit pengawal Tuan Gubernur yang ditugaskan oleh Pandesia, dalam balutan baju zirah merah yang khas. Terbersit olehnya kegeraman akan apa yang dilihatnya itu, sama seperti kebencian yang dirasakan semua orang. Keberadaan Pasukan Pengawal selalu terasa menyesakkan—terlebih lagi pada saat pesta Bulan Musim Dingin, di mana mereka datang hanya untuk meminta segala rupa pungutan yang dapat mereka minta dari penduduk. Bagi Kyra, mereka ini tak ubahnya pemulung; perusuh dan pemulung yang menjadi kaki tangan para bangsawan busuk yang menduduki kekuasaan sejak invasi Pandesia.

Semua ini adalah salah Raja mereka sebelumnya, yang menyerah kepada Pandesia—namun kini tak ada gunanya. Sekarang sungguh memalukan, mereka harus tunduk hormat pada pasukan-pasukan ini. Hal ini membuat Kyra dipenuhi oleh amarah. Ketundukan itu membuat ayahnya dan prajurit-prajurit terbaiknya—serta semua kawan Kyra—menjadi tak lebih dari sekadar budak yang diangkat derajatnya; Kyra sungguh ingin mereka bangkit, berjuang demi kebebasannya, bertempur dalam perang yang tak berani dilakukan oleh Raja mereka yang terdahulu. Namun ia juga tahu bahwa jika mereka bangkit sekarang, maka mereka harus menghadapi kemurkaan Pasukan Pengawal. Mungkin mereka bisa mencegahnya jika mereka tak membiarkan para pasukan itu berkuasa; namun setelah kini para pasukan itu telah bercokol cukup lama, maka mereka tak punya banyak pilihan lagi.

Kyra dan ketiga saudaranya tiba di jembatan, berjalan di tengah-tengah keramaian orang, dan saat mereka lewat, orang-orang itu berhenti sejenak dari kesibukannya, memandang mereka dan menunjuk-nunjuk babi hutan itu. Kyra puas juga melihat kedua kakaknya bermandi keringat, terengah-engah memanggul babi hutan. Semua orang -baik penduduk desa maupun para prajurit- menoleh dan mulut mereka melongo, terkesima oleh besarnya babi hutan itu. Kyra juga mendapati tatap mata yang menyiratkan kekhawatiran tentang takhayul; sama seperti dirinya, beberapa orang di situ juga menduga-duga apakah babi hutan itu merupakan pertanda buruk.

Yang jelas, semua mata tertuju pada kedua kakaknya dengan penuh kebanggan.

 

"Tangkapan bagus untuk pesta nanti!" seru seorang petani yang tengah menuntun lembunya sembari menyusuri jalan bersama dengan mereka.

Raut muka Brandon dan Braxton pun berseri-seri bangga.

"Babi hutan itu cukup untuk santapan separuh tamu ayahmu!" teriak seorang tukang daging.

"Bagaimana caramu menangkapnya?" tanya seorang perajin pelana.

Kedua kakaknya saling berpandangan, dan Brandon akhirnya tersenyum lebar pada perajin itu.

"Bidikan yang jitu dan keberanian," jawab Brandon mantap.

"Jika kalian tak berani masuk ke hutan, maka kalian takkan tau apa yang bisa kalian dapatkan," imbuh Braxton.

Beberapa orang lain bersorak dan bertepuk tangan di belakang mereka. Kyra sendiri hanya diam. Ia tak butuh pengakuan dari orang-orang ini, karena ia tahu pasti apa yang telah dilakukannya.

"Bukan mereka yang membunuh babi hutannya!" Teriak Aidan geram.

"Diam kau!" Brandon menoleh dan menghardiknya pelan. "Sekali lagi kau ulangi, akan kuberitahu mereka bahwa kau terkencing-kencing di celana karena dikejar babi hutan."

"Tapi aku tidak terkencing di celana!" sanggah Aidan.

"Menurutmu mereka akan percaya pada omonganmu?" tambah Braxton.

Brandon dan Braxton tertawa, lalu Aidan memandang Kyra seakan ingin tahu apa yang akan Kyra lakukan selanjutnya.

Kyra hanya menggeleng.

"Jangan buang-buang tenaga," katanya pada Aidan. "Kebenaran selalu menang."

Kerumunan orang semakin ramai saat mereka melintasi jembatan; bahu mereka terus saling bersinggungan dengan orang-orang saat melewati atas parit. Kyra dapat merasakan kegembiraan menguar di udara seiring senja tiba, obor-obor menyala menerangi sisi atas dan bawah jembatan, dan salju turun semakin deras. Ia memandang ke depan dan seperti biasanya, jantungnya berdegup kencang saat melihat gerbang batu besar berbentuk melengkung di muka benteng, yang dijaga oleh selusin pasukan ayahnya. Di puncak lengkungan itu mencuat ujung-ujung tajam dari pintu gerbang besi yang tergantung; batang-batang besi yang tajam dan tebal itu cukup kokoh untuk menghalangi musuh, dan gerbang itu siap ditutup hanya dengan isyarat terompet tanda bahaya. Gerbang itu tergantung tiga puluh kaki tingginya, dan di atasnya terdapat sebuah lantai lebar yang membentang mengelilingi seluruh benteng, dinding pertahanan dari batu tempat penjaga yang selalu mengawasi dengan mata yang siaga. Volis adalah sebuah benteng yang kuat, dan Kyra selalu bangga akan benteng tersebut. Yang membuatnya semakin bangga adalah para pasukan di dalamnya, anak buah ayahnya, prajurit-prajurit terbaik Escalon, yang sedikit demi sedikit berkumpul kembali di Volis setelah tercerai berai sejak menyerahnya sang Raja; mereka bagai magnet yang menempel pada ayahnya. Berulang kali ia mendesak ayahnya agar menobatkan diri sebagai Raja yang baru, seperti halnya yang diinginkan oleh banyak orang—namun sang ayah hanya menggelengkan kepala dan berkata bahwa itu bukanlah takdirnya.

Ketika mereka telah dekat dengan gerbang, selusin anak buah ayahnya lewat dengan berkendara di atas kuda, dan orang-orang pun menyingkir memberi jalan pada mereka yang hendak menuju ke arena latihan, sebuah tanggul melingkar yang lebar pada sebidang tanah lapang di luar benteng yang dikelilingi oleh dinding batu rendah. Kyra berpaling dan memandang mereka berlalu, dan jantungnya berdegup makin kencang. Arena latihan adalah tempat kesukaannya. Ia suka pergi ke sana dan menyaksikan para prajurit itu berlatih selama berjam-jam, memelajari tiap gerakan yang mereka lakukan, cara mereka menunggang kuda, bagaimana mereka menghunus pedang, melontarkan tombak, atau mengayunkan bola berduri. Para prajurit ini tetap berlatih meskipun malam hampir tiba dan salju turun, meskipun sebuah pesta perayaan akan digelar pada hari itu, semata-mata karena mereka ingin berlatih agar lebih mahir, karena mereka lebih suka terjun ke medan pertempuran daripada berpesta di dalam ruangan, seperti dirinya. Bagi Kyra, mereka ini adalah prajurit-prajurit sejati.

Sepasukan prajurit lain melintas dengan berjalan kaki, dan saat berpapasan dengan Kyra dan saudara-saudaranya di gerbang benteng, para prajurit ini serta kerumunan orang lain di situ memberinya jalan, agar Brandon dan Braxton yang memanggul babi hutan dapat lewat dengan mudah. Mereka bersiul tanda kagum dan berkumpul; mereka adalah pria-pria besar berotot kekar, dengan tubuh satu kaki lebih tinggi dari kedua kakaknya yang tak bisa dibilang kecil, dan kebanyakan dari mereka memiliki jenggot yang sedikit beruban; mereka semua adalah pria-pria terlatih berusia tiga puluhan dan empat puluhan yang telah malang melintang dalam banyak pertempuran, yang telah mengabdi pada Sang Raja dan menanggung kehinaan karena Sang Raja akhirnya menyerah. Mereka adalah para pria yang tak akan pernah sudi menyerah. Pria-pria ini adalah orang-orang berpengalaman dan tak mudah kagum—namun kali ini sepertinya mereka terkagum-kagum akan babi hutan itu.

"Kalian sendiri yang membunuhnya, bukan begitu?" salah satu dari mereka menanyai Brandon, lalu mendekat dan mengamati babi hutan itu.

Kerumunan makin bertambah dan Brandon serta Braxton akhirnya berhenti, menanggapi pujian dan kekaguman pria-pria hebat itu, sembari berusaha mati-matian agar nafasnya tak terlihat terengah-engah.

"Ya, benar!" seru Braxton dengan bangga.

"Babi hutan Tanduk Hitam," kata seorang prajurit lain setelah mendekat dan meraba punggung babi hutan. "Tak pernah kulihat lagi sejak aku kecil. Aku pernah ikut membantu membunuh babi hutan semacam ini—namun saat itu aku bersama dengan banyak orang—dan dua dari antara mereka harus kehilangan jari-jari di tangannya."

"Yah, dan kami tidak kehilangan apa pun," tukas Braxton mantap. "Kecuali sebuah mata tombak."

Emosi Kyra terbakar saat para prajurit itu tertawa karena kagum akan hasil buruan itu; akan tetapi, seorang prajurit lain, pemimpin mereka, yaitu Anvin, melangkah maju dan memeriksa babi hutan itu dengan saksama. Para prajurit lain minggir, memberinya ruang karena rasa segan mereka padanya.

Anvin, komandan pasukan ayahnya, adalah pria yang paling Kyra kagumi; ia hanya tunduk pada ayahnya, dan dialah pemimpin para prajurit terbaik ini. Anvin bagaikan ayah kedua bagi Kyra, dan Kyra telah mengenalnya sejak kecil. Ia tahu bahwa Anvin amat menyayanginya, dan Anvin selalu menjaganya; dan yang paling penting, Anvin selalu meluangkan waktu baginya, mengajarinya teknik-teknik bertarung dan ilmu senjata, sedangkan tak satu pun prajurit lain mau melakukannya. Bahkan tak hanya sekali Anvin mengizinkannya berlatih bersama para prajurit yang lain, dan Kyra selalu menikmati setiap kesempatan yang diberikan padanya. Anvin adalah pria terkuat di antara mereka semua, namun sekaligus pria yang paling baik hati—tentunya pada orang-orang yang Anvin sukai. Pada orang lain yang tak Anvin sukai, Kyra hanya bisa turut prihatin.

Anvin sangat membenci kebohongan; ia adalah jenis pria yang harus selalu mengetahui kebenaran dari segala sesuatu, sesamar apa pun kebenaran itu. Ia memiliki mata yang jeli, dan saat ia melangkah maju lalu memeriksa babi hutan itu dengan cermat, Kyra melihatnya berhenti dan mengamati dua buah luka bekas anak panah. Anvin memiliki mata yang teliti, dan ia adalah satu-satunya orang yang mampu melihat kebenaran yang tersembunyi.

Anvin mengamati baik-baik dua buah bekas luka itu, memeriksa mata panah kecil yang masih menancap di dalamnya, serta serpihan kayu pada anak panah yang dipatahkan oleh kedua kakaknya. Kakak-kakaknya mematahkan anak panah dekat sekali dengan ujung mata panahnya, sehingga semua orang nyaris tak mengetahui apa sebenarnya yang melumpuhkan babi hutan itu. Namun Anvin bukanlah orang sembarangan.