Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

BAB DELAPAN

Alec duduk di bengkel pandai besi milik ayahnya, paron besi yang dipakai sebagai landasan itu terletak di depannya, tampak usang karena telah dipakai selama bertahun-tahun; ia mengangkat palu dan memukul-mukul baja yang panas membara untuk bakal pedang, yang baru saja diambilnya dari bara api. Ia berkeringat dan pikirannya kesuh, seolah ia tengah memukul-mukul kemarahannya sendiri. Usianya baru saja menginjak enam belas tahun, badannya agak lebih pendek dibandingkan anak laki-laki sebayanya, dengan bahu yang bidang, otot-otot yang mulai menyembul dan rambut berombak hitam yang tebal, panjangnya melebihi kedua matanya; Alec bukanlah seorang pemuda yang mudah menyerah. Ia menjalani hidup yang penuh tempaan, seperti besi bakal pedang itu; ia duduk di sebelah perapian, tangannya berulang kali menyibakkan rambut yang menutupi matanya, ia menerawang, melamunkan berita yang baru saja didengarnya. Belum pernah ia merasa putus asa seperti ini. Ia menghantamkan palu itu berulang-ulang, keringatnya menetes dari dahi dan berdesis saat jatuh di atas besi yang membara; ia seakan ingin menghantam segala masalah yang menderanya.

Sepanjang hidupnya, Alec selalu dapat mengatasi berbagai hal, ia sanggup bekerja sekeras apa pun demi mencapainya. Namun kini, untuk kali pertama dalam hidupnya, ia hanya bisa diam dan melihat ketidakadilan menimpa kotanya, menimpa keluarganya—dan ia tak dapat berbuat apa-apa.

Alec terus memukulkan palunya; denting logam memekakkan telinganya, keringat terasa pedih leleh ke dalam matanya, namun ia tak peduli. Ia ingin menghantam baja itu hingga tak ada lagi yang tesisa darinya, dan ia melakukannya bukan dengan memikirkan pedang yang tengah dibuatnya, melainkan ia berpikir soal Pandesia. Jika bisa, ia ingin membunuh mereka semua, para penjajah yang datang untuk merenggut kakaknya. Alec memukul-mukul pedang itu, seolah yang ia pukul adalah kepala mereka semua; andai saja ia dapat mengatur takdir dengan tangannya dan membentuknya sesuka hati, andai saja ia cukup kuat untuk melawan Pandesia seorang diri.

Hari ini, saat Bulan Musim Dingin, adalah hari yang paling dibencinya; inilah hari saat Pandesia menjelajah ke seluruh pelosok Escalon dan mengumpulkan seluruh pemuda yang telah berumur delapan belas tahun untuk menjadi pasukan di Benteng Api. Alec yang berumur dua tahun lebih muda tak ikut di dalamnya. Namun Ashton, kakaknya yang telah berumur delapan belas tahun pada musim panen yang lalu ikut dibawa. Mengapa dari sekian banyak orang lain, Ashton yang dipilih? Ia tak habis pikir. Ashton adalah pahlawan bagi dirinya. Meskipun kakinya pincang, tapi selalu tersungging senyum di bibir Ashton, pembawaannya selalu ceria—lebih ceria daripada Alec—dan selalu melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Ia sangat bertolak belakang dengan Alec yang sangat perasa, yang selalu terjebak dalam kegundahannya sendiri. Seberapa pun kerasnya ia mencoba untuk merasa bahagia seperti kakaknya, Alec tak mampu mengendalikan perasaannya, dan seringkali ia melamun. Banyak orang berkata padanya bahwa ia menjalani hidup ini dengan terlalu serius, dan ia seharusnya lebih menikmatinya; namun bagi Alec, hidup ini memang keras, hidup adalah pesoalan yang tak main-main, dan ia tak tahu bagaimana harus menikmatinya.

Sebaliknya, Ashton adalah seseorang yang tenang, berpikiran jernih dan riang, seperti apa pun keadaannya di dunia ini. Ashton juga merupakan seorang pandai besi yang terampil, seperti ayahnya; dan kini ia adalah satu-satunya tulang punggung bagi keluarga, apalagi sejak ayahnya jatuh sakit. Jika mereka membawa Ashton, maka keluarganya akan jatuh miskin. Dan yang lebih buruk lagi, Ashton akan hancur, karena konon menurut cerita orang, menjadi seorang serdadu aplusan berarti siap menghadapi kematian. Dengan kaki Ashton yang pincang, maka betapa keji dan tak adil jika Pandesia ikut membawanya. Namun Pandesia tak terkenal karena belas kasihnya, dan Alec merasa terpukul karena hari itu bisa jadi adalah hari terakhir kakaknya hidup di rumah.

Keluarga mereka bukanlah keluarga yang kaya dan mereka tidak tinggal di sebuah desa yang makmur. Rumah mereka cukup sederhana, sebuah pondok kecil tak bertingkat yang menjadi satu dengan sebuah bengkel pandai besi, di daerah pinggiran Soli, jaraknya sejauh satu hari berkuda dari ibu kota dan satu hari berkuda dari Whitewood. Desa itu adalah sebuah tempat yang terpencil, sebuah desa yang tenang di daerah pinggiran, jauh dari mana pun—sebuah tempat yang selalu terlihat di kejauhan dalam perjalanan menuju ke Andros. Keluarga mereka hanya bisa mencukupi kebutuhan hari demi hari, tak lebih dan tak kurang—dan memang hanya itulah yang mereka harapkan. Mereka bekerja menggunakan keterampilan mereka untuk menjual besi tempa ke pasar, dan hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Alec tak berharap terlalu banyak dalam hidup ini—ia hanya menginginkan keadilan. Ia bergidik membayangkan kakaknya yang dipaksa untuk mengabdi pada Pandesia. Ia telah mendengar begitu banyak cerita tentang bagaimana rasanya ikut dipilih menjadi pasukan untuk menjadi penjaga di Benteng Api yang berkobar siang dan malam, untuk menjadi Sang Penjaga. Alec mendengar bahwa para budak Pandesia yang menjaga Benteng Api adalah orang-orang yang keras, para budak dari seluruh penjuru dunia, para serdadu aplusan, penjahat, dan prajurit-prajurit terkejam Pandesia. Kebanyakan dari mereka bukanlah prajurit Escalon yang terhormat, bukanlah Penjaga Volis yang terhormat. Alec pun mendengar bahwa bahaya terbesar di Benteng Api bukanlah para troll, melainkan sesama Sang Penjaga. Ia tahu bahwa Ashton takkan mampu melindungi dirinya sendiri; Ashton adalah seorang pandai besi yang terampil, namun ia bukanlah seorang petarung.

“ALEC!”

Lengkingan suara ibunya terdengar, bahkan lebih nyaring dari suara denting palunya.

Alec meletakkan palunya, menarik nafas panjang, tak sadar betapa ia telah bekerja terlalu keras, lalu mengusap dahi dengan punggung tangannya. Ia memandang sekeliling lalu melihat ibunya melongokkan kepala melalui jenang pintu dengan geram.

"Aku sudah memanggilmu berulang kali selama sepuluh menit!" kata ibunya kasar. "Makan malam telah siap! Kita tak punya banyak waktu hingga mereka tiba. Kami semua menunggumu. Pulanglah sekarang juga!"

Lamunan Alec buyar; ia letakkan palunya, lalu bangkit dengan enggan dan keluar dari bengkel pandai besi sempit itu. Ia tak dapat mengulur-ulur lagi sesuatu yang telah pasti.

Ia pulang ke rumahnya dan masuk melalui pintu depan yang terbuka, lewat di depan ibunya yang marah, dan berhenti serta memandang meja makan yang ditata lengkap dengan perabotannya, yang tak seberapa banyaknya. Meja itu berupa sepotong kayu sederhana dengan empat buah bangku kayu, serta sebuah cawan perak yang diletakkan di tengah-tengah, satu-satunya barang bagus yang mereka miliki.

Kakak dan ayahnya duduk mengelilingi meja sambil memandangnya, dan semangkuk sayur rebus telah siap di depannya.

Ashton bertubuh tinggi dan kurus dengan kulit gelap, sedangkan sang ayah, yang duduk di sebelah mereka, adalah seorang pria berbadan besar, dua kali lebih besar daripada Alec, dengan perut yang semakin buncit, kantung mata rendah, alis tebal dan tangan kapalan khas seorang pandai besi. Mereka berdua tampak mirip—namun tak ada satu pun dari mereka yang mirip dengan Alec, yang selalu disebut-sebut lebih mirip dengan ibunya, dengan rambut Alec yang awut-awutan dan bergelombang serta mata hijaunya yang berkilat.

Ashton memandang mereka dan ia segera dapat menangkap dalam raut muka adiknya dan cemas di wajah ayahnya, dan mereka berdua tampak seperti orang yang sedang menjalani tuguran. Ia merasa perutnya mual saat memasuki ruangan itu. Semangkuk sayur rebus terhidang di depan mereka masing-masing, dan Alec duduk berseberangan meja dengan kakaknya; ibunya menyorongkan salah satu mangkuk itu ke hadapannya, lalu ia duduk dan mengambil satu buah mangkuk sayur yang lain.

Meskipun saat itu telah lewat waktunya makan malam dan ia biasanya telah mulai kelaparan, saat itu Alec bahkan tak sanggup mencium aroma makanan yang terhidang, karena isi perutnya serasa diaduk-aduk.

"Aku tak lapar," ujarnya lirih memecah kebisuan.

Ibunya menatap dengan tajam padanya.

"Ibu tak peduli," tukasnya. "Kau harus makan apa yang telah diberikan untukmu. Ini mungkin menjadi makan bersama terakhir kita sebagai sebuah keluarga—hormatilah kakakmu."

Alec menoleh pada ibunya, seorang wanita berumur sekitar lima puluh tahun dengan raut muka datar, di wajahnya tergurat betapa kerasnya hidup yang ia jalani, dan Alec melihat ketegasan terpancar dari sorot mata hijau yang menatapnya, tatapan yang sama seperti yang terpancar dari matanya sendiri.

"Lalu haruskah kita berpura-pura bahwa tak terjadi apa-apa?" tanya ayahnya.

"Ia juga anak laki-laki kita," tukas ibunya. "Kau bukanlah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga ini."

Alec berpaling pada ayahnya, ia menangkap keputusasaan tersirat darinya.

"Apakah ayah akan membiarkan hal ini terjadi?" tanya Alec.

Muka ayahnya masam, namun ia tetap diam saja.

"Kau merusak selera makan kita," ujar ibunya.

Ayahnya mengangkat tangan, dan ibunya pun terdiam. Ia memalingkan wajahnya pada Alec dan memandangnya.

"Apa yang kau ingin agar ayah lakukan?" tanya ayahnya dengan suara serius.

"Kita punya senjata!" Alec bersikeras; ia memang berharap pertanyaan semacam itu terlontar. "Kita punya besi! Kita adalah salah satu dari segelintir orang yang punya senjata! Kita dapat membunuh prajurit mana pun yang mencoba mendekatinya! Mereka takkan menduganya!"

Ayahnya menggelengkan kepala tanda tak setuju.

"Itu adalah khayalan seorang anak muda," kata ayahnya. "Ya, anak muda sepertimu, yang belum pernah membunuh seorang pun seumur hidupmu. Anggaplah kau membunuh prajurit yang membawa Ashton—lalu bagaimana dengan dua ratus prajurit lain di belakangnya?"

 

"Jika begitu, kita sembunyikan saja Ashton!" Alec tetap bersikukuh.

Ayahnya menggelengkan kepala lagi.

"Mereka punya daftar nama seluruh pemuda di desa ini. Mereka tahu ia ada di tempat ini. Jika kita tak menyerahkanna, mereka akan membunuh kita semua." Ayahnya menghela nafas dengan kesal. "Apakah menurutmu ayah belum memikirkan tentang hal ini, nak? Kau pikir hanya dirimu saja yang peduli padanya? Kau pikir aku rela anakku dibawa paksa?"

Alec membisu, tertegun mendengar kata-kata ayahnya.

"Apa yang ayah maksud dengan satu-satunya anak lelaki?" tanya Alec.

Wajah ayahnya memerah.

"Ayah tidak mengatakan satu-satunya—ayah berkata anak sulung."

"Tidak, ayah berkata satu-satunya," Alec bersikeras, ia tak mengerti.

Muka ayahnya semakin merah dan suaranya meninggi.

"Berhentilah membicarakan hal itu!" teriaknya. "Jangan membicarakannya di waktu seperti ini. Ayah mengatakan anak sulung dan itulah maksud ucapan ayah, habis perkara! Ayah tak ingin anak laki-laki ayah diambil, sama sepertimu yang tak ingin kakakmu diambil!"

"Alec, tenanglah," suara yang lembut itu pun terdengar, satu-satunya suara yang menenteramkan di dalam ruangan itu.

Alec melihat ke seberang meja makan dan melihat Ashton tersenyum padanya, tenang dan mantap seperti biasanya.

"Semua akan baik-baik saja, adikkua," kata Ashton. "Aku harus memenuhi tugasku dan aku pasti akan kembali."

"Kembali?" ulang Alec. "Mereka menugaskan Sang Penjaga selama tujuh tahun."

Ashton tersenyum.

"Maka aku akan bertemu denganmu tujuh tahun lagi," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Kurasa tubuhmu sudah akan lebih tinggi dariku."

Begitulah Ashton, selalu berusaha membuat Alec merasa lebih tenang, selalu memikirkan orang lain, bahkan dalam saat-saat seperti ini.

Alec merasa hatinya remuk redam.

"Ashton, kau tak boleh pergi," kata Alec bersikukuh. "Kau tak akan bertahan di Benteng Api."

"Aku—" Ashton baru saja hendak mengatakan sesuatu.

Namun kata-katanya terputus oleh suara keributan di luar rumah. Terdengar suara kuda berderap menuju ke desa, suara para prajurit yang gaduh. Seisi rumah itu pun saling berpandangan, ketakutan. Mereka duduk saja di situ, membeku, saat orang-orang mulai kalang kabut. Alec melihat para pemuda dan keluarga berbaris di luar.

"Tak ada gunanya mengulur-ulur waktu lagi," kata ayahnya sembari berdiri, tangannya bertumpu pada permukaan meja dan suaranya memecah kebisuan di ruangan itu. "Kita takkan dipermalukan karena mereka mendobrak masuk dan menyeretnya ke luar. Kita harus berbaris di luar bersama orang lain dan berdiri dengan bangga, dan berdoalah saja agar saat melihat kaki Ashton, mereka akan bertindak manusiawi dan tidak membawanya serta."

Alec bangkit dengan enggan dari duduknya saat mereka semua berbaris di luar rumah.

Ketika melangkah ke luar di bawah malam yang dingin itu, Alec tertegun oleh apa yang dilihatnya: ada sebuah kerumunan luar biasa banyak yang belum pernah ia lihat di desanya ini. Jalanan diterangi oleh sekian banyak obor, dan semua pemuda berumur lebih dari delapan belas tahun saling berjajar, dan keluarga mereka berdiri menyaksikannya dengan gugup. Debu beterbangan memenuhi jalan saat kereta Pandesia memasuki desa, lusinan prajurit berbalut baju zirah kirmizi Pandesia mengendarai kereta perang yang ditarik oleh beberapa ekor kuda. Di belakangnya, kereta angkut yang terbuat dari batangan besi berlompatan melintasi jalan.

Alec mengamati kereta angkut itu dan melihatnya telah penuh oleh para pemuda dari seluruh pelosok negeri, semuanya menatap dengan cemas dan raut muka mereka tegang. Ia tercekat oleh pemandangan yang disaksikannya itu, membayangkan apa yang akan terjadi pada kakaknya.

Iring-iringan itu berhenti di desa mereka, dan kebisuan yang menegangkan pun meliputi seluruh penduduk desa; semua orang menunggu dengan nafas tertahan.

Komandan pasukan Pandesia melompat turun dari keretanya; ia adalah seorang serdadu bertubuh tinggi, dengan mata hitam yang memancarkan kekejaman, dan bekas luka yang melintang di atas salah satu alisnya. Ia berjalan perlahan, memeriksa para pemuda itu; seisi desa terdiam hingga semua orang bisa mendengar gemerincing taji di sepatunya ketika komandan itu berjalan.

Ia memandang para pemuda itu satu persatu, mengangkat dagu mereka dan menatap matanya, lalu menepuk bahu mereka, sedikit mendorongnya untuk menguji keseimbangan berdirinya. Ia mengangguk sambil berlalu; dan setiap kali ia mengangguk, para prajurit lain yang telah siap akan segera menarik pemuda yang dipilih itu lalu menyeretnya ke dalam kereta. Beberapa pemuda diam saja dan menurut, dan beberapa yang lain meronta melawan; namun, mereka yang meronta segera saja menerima pukulan tongkat dan dihempaskan ke dalam kereta bersama para pemuda terpilih lainnya. Sejumlah ibu menangis dan beberapa ayah berteriak-teriak—namun semua itu tak juga menghentikan para prajurit Pandesia.

Sang komandan melanjutkan langkahnya, mengambil semua pemuda tulang punggung desa, hingga akhirnya ia berhenti di depan Ashton, yang berdiri di ujung barisan.

"Anakku cacat," teriak ibunya, memohon dengan putus asa. "Ia takkan berguna bagimu."

Serdadu itu mengamati Ashton dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, lalu pandangannya berhenti pada kaki Ashton.

"Tanggalkan celanamu, dan lepaskan sepatumu," ujarnya.

Ashton menurut, lalu ia bertumpu pada Alec agar berdirinya seimbang; dan saat itu Alec tahu bahwa kakaknya ini tengah dipermalukan; kakinya adalah pembawa malu bagi kakaknya, karena ukurannya yang besar sebelah, terpuntir dan berparut, sehingga membuatnya harus berjalan terpincang-pincang.

"Ia juga membantuku bekerja di bengkel pandai besi, ia adalah tulang punggung keluarga kami," sela Ayahnya. "Jika kalian membawanya, maka keluarga kami takkan punya apa-apa lagi. Kami takkan sanggup bertahan."

Setelah memandang kakinya, komandan itu memberi isyarat agar Ashton mengenakan kembali sepatunya. Kemudian ia berpaling dan memandang ayah mereka, dengan mata hitambya yang dingin dan tajam.

"Sekarang kalian hidup di tanah kami, dan putra kalian adalah milik kami yang dapat kami gunakan semau kami," katanya dengan suara kasar. "Bawa dia!" terika komandan itu, dan segeralah anak buahnya menuruti perintah itu.

"TIDAK!" teriak ibu Alec memohon. "JANGAN BAWA ANAKKU!"

Ibunya berlari dan menarik Ashton, lalu memegangnya erat-erat; kemudian seorang prajurit Pandesia maju dan menghalanginya dengan menyilangkan punggung lengan di muka ibunya.

Ayah Alec menarik lengan prajurit itu, kemudian beberapa prajurit yang lain memukul dan meninjunya hingga jatuh ke tanah.

Alec yang berdiri di situ dan melihat para prajurit itu membawa Ashton akhirnya tak tahan lagi. Ketidakadilan ini membuatnya muak—ia merasa takkan sanggup menjalani hidup dalam ketidakadilan semacam itu. Kenangan tentang kakaknya yang diseret untuk dibawa pergi akan selalu tertanam di benaknya.

Kemudian, ada suatu dorongan yang muncul dalam dirinya.

"Bawa saja aku!" Alec berteriak dan tanpa sadar merangsek ke depan lalu berdiri di antara Ashton dan para prajurit itu.

Mereka semua berhenti dan memandang Alec, tampak jelas bahwa mereka terkejut.

"Kami adalah anak laki-laki dari keluarga yang sama!" lanjut Alec. "Hukum mengatakan bahwa seorang anak laki-laki akan diambil dari setiap keluarga. Maka ambillah aku!"

Sang komandan menghampiri lalu memandangi Alec dengan saksama.

"Berapa umurmu?" tanya komandan itu.

"Umurku sudah lebih dari enam belas tahun!" tukas Alec mantap.

Para prajurit tertawa, sementara komandan mereka hanya menyeringai.

"Kau terlalu muda untuk menjadi serdadu aplusan," kata komandan itu menolaknya.

Namun saat ia hendak berpaling pergi, Alec maju, ia tak mau ditolak begitu saja.

"Aku adalah seorang calon prajurit yang lebih baik darinya!" Alec tetap bersikukuh. "Aku mampu melontarkan tombak lebih jauh dan menebaskan pedang lebih kuat. Bidikanku lebih jitu, dan badanku lebih kuat dari pemuda yang dua kali lebih tua dariku. Kumohon," pinta Alec. "Berikan aku kesempatan."

Ketika sang komandan itu menatapnya, Alec merasa sangat takut, meskipun ia berpura-pura terlihat mantap. Ia tahu bahwa ia akan menghadapi risiko yang besar: ia bisa saja dijebloskan ke penjara atau dibunuh.

Sang komandan itu mengamatinya lekat-lekat, seolah tak satu jengkalpun terlewat; orang-orang terdiam, hingga akhirnya sang komandan mengangguk pada anak buahnya.

"Lepaskan si pincang itu," perintahnya. "Bawa anak ini."

Para prajurit mendorong Ashton, lalu maju dan menarik Alec, dan sekejap Alec pun telah mereka seret untuk dibawa pergi. Semua itu terjadi begitu cepat, seakan tak nyata.

"TIDAK!" teriak ibunya.

Alec melihat ibunya menangis saat dirinya diseret dan dihempaskan dengan kasar ke dalam kereta yang telah penuh dengan pemuda lainnya.

"Tidak!" teriak Ashton. "Lepaskan adikku! Bawa saja aku!"

Namun tak satu pun dari mereka yang menggubrisnya. Alec didorong masuk ke dalam kereta, yang telah pengap oleh aroma bau keringat dan ketakutan; tubuhnya limbung akibat berdesakan dengan para pemuda lain yang saling mendorong, dan pintu besi di bagian belakang kereta ditutup dengan keras, bunyinya memekakkan telinga. Alec merasakan kelegaan yang amat sangat karena telah menyelamatkan kakaknya, perasaan yang lebih kuat daripada ketakutannya sendiri. Ia telah mengorbankan dirinya demi kakaknya—dan apa pun yang akan terjadi nanti bukanlah sebuah perkara yang terlalu besar.

Ia terduduk di lantai kereta dan bersandar pada dindingnya yang berjeruji besi, sementara kereta mulai melaju, dan ia sadar bahwa ia mungkin takkan mampu bertahan menghadapi semua ini. Dilihatnya tatapan mata penuh amarah dari para pemuda itu, seolah menyudutkannya di kegelapan; dan ketika kereta itu melaju berguncang-guncang, ia sadar bahwa ada jutaan cara untuk mati dalam perjalanan yang akan ia lalui ini. Ia membayangkan dengan cara bagaimana ia akan mati. Apakah karena hangus terbakar di Benteng Api? Apakah karena ditusuk oleh seseorang? Ataukah karena dimakan oleh troll?

Atau justru kemungkinan paling kecil yang akan terjadi: entah bagaimana, ia akan tetap bertahan hidup?