Tasuta

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Märgi loetuks
Šrift:Väiksem АаSuurem Aa

BAB SEMBILAN

Kyra berjalan menembus salju yang pekat, sementara Leo mengikuti sambil menumpukan badan di kakinya; gesekan tubuh Leo itulah satu-satunya hal yang membuat Kyra merasa masih menapak tanah di tengah salju putih yang membentang. Salju berjatuhan di wajahnya dan ia hanya dapat melihat hingga jarak beberapa kaki saja; satu-satunya cahaya yang menerangi jalannya adalah sinar bulan berwarna merah darah, yang pendarnya tampak menyeramkan saat tak tertutup awan sepenuhnya. Dinginnya salju terasa menggigit hingga ke tulang, dan hanya dalam beberapa jam setelah pergi meninggalkan rumah, ia sudah mulai merindukan kehangatan benteng ayahnya. Ia membayangkan dirinya tengah berdiang di depan perapian, duduk di atas tumpukan karpet bulu sambil menyeruput coklat hangat dan asyik membaca buku.

Kyra berusaha mengusir pikiran itu dari dalam benaknya dan ia melipatgandakan usahanya dengan penuh tekad. Ia akan meninggalkan kehidupan yang telah diberikan oleh ayahnya, apa pun risikonya. Ia tak akan lagi dipaksa menikah dengan seorang pria yang tak ia kenal atau tak ia cintai, terlebih hanya demi mengelabui Pandesia. Ia tak akan lagi diharuskan hidup untuk mengurus rumah tangga, dan tak akan lagi dipaksa untuk menyerah mengejar impiannya. Lebih baik ia mati di tengah cuaca dingin dan bersalju daripada harus menjalani hidup menurut kemauan orang lain.

Kyra terus berjalan menembus salju yang telah bertumpuk setinggi lututnya, menembus malam yang kian gelap dalam cuaca paling buruk yang pernah ia alami. Rasanya bagaikan tak nyata. Ia dapat merasakan sebuah energi yang lain di hawa malam ini, ketika para arwah konon kembali ke dunia, ketika orang lain takut keluar rumah, ketika orang-orang desa menutup rapat-rapat pintu dan jendelanya meskipun cuaca cerah. Udara terasa berat, dan tampaknya bukan hanya karena salju yang turun: tetapi ia juga bisa merasakan arwah-arwah yang bergentayangan di sekitarnya. Rasanya seolah arwah-arwah itu tengah mengawasinya, seakan ia tengah berjalan menuju takdirnya—atau tengah menjemput ajalnya sendiri.

Kyra berjalan mendaki sebuah bukit dan dilihatnya secercah cahaya di kaki langit, dan untuk kali pertama sepanjang perjalanan yang ia tempuh malam ini, ia merasa dirinya dipenuhi oleh harapan. Di kejauhan, tampaklah Benteng Api menerangi langit yang tengah dirundung badai, bagaikan satu-satunya menara suar di tengah lautan yang serba putih. Dalam malam gelap seperti ini, berkas-berkas cahaya itu menarik dirinya bagai sebuah magnet; inilah tempat yang selalu ia bayangkan seumur hidupnya, dan ayahnya selalu melarangnya dengan keras untuk mendatangi tempat ini. Ia tak menyangka bahwa dirinya telah berjalan sejauh ini, dan ia menduga-duga apakah ia tak sadar telah berjalan menuju ke tempat ini sejak meninggalkan benteng ayahnya.

Kyra berhenti, mulutnya megap-megap mengambil nafas. Inilah Benteng Api. Dengan dinding api yang membentang sejauh lima puluh mil melintasi perbatasan di sisi timur Escalon, satu-satunya yang menjadi pemisah antara negerinya dengan wilayah Marda yang luas, kerajaan para troll. Inilah tempat di mana ayah dan leluhurnya pernah mengabdi sepenuh jiwa, untuk melindungi tanah air mereka, inilah tempat seluruh anak buah ayahnya -Sang Penjaga- bergantian menjalankan tugasnya.

Benteng Api ternyata jauh lebih tinggi dan lebih terang dari apa yang ia bayangkan—dan melebihi bualan semua orang—dan ia tak mengerti kekuatan ajaib apa yang terus menjaga api tak pernah padam, tak mengerti bagaimana bisa api itu menyala siang dan malam, dan bagaimana dinding benteng itu tak hangus terbakar. Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, muncul jauh lebih banyak pertanyaan daripada yang pernah ia dapatkan jawabannya.

Kyra tahu bahwa ada ribuan prajurit yang berjaga di seluruh penjuru Benteng Api; berbagai macam prajurit ada di sana; para prajurit terbaik dari Volis, pun para prajurit tangguh Pandesia, para budak, serdadu aplusan dan para penjahat. Mereka semua memanglah Sang Penjaga, namun tak ada yang kemampuannya sebaik anak buah ayahnya yang telah bertugas di Benteng Api dari generasi ke generasi. Dan di sisi seberang, tinggallah para troll yang penasaran ingin menerobos masuk ke benteng itu. Benteng Api adalah sebuah tempat yang berbahaya. Sebuah tempat mistis. Tempat bagi orang-orang putus asa, kejam, dan tak punya takut.

Kyra harus melihatnya dari dekat. Hitung-hitung, ia butuh tempat berteduh dari badai ini, untuk menghangatkan diri dan memutuskan ke mana ia akan melanjutkan perjalanannya.

Kyra mendaki bukit menembus salju yang turun, menggunakan tongkatnya untuk menjaga keseimbangan langkahnya, dan Leo mengikuti di sampingnya, berjalan menuju ke Benteng Api. Meskipun jarak benteng itu tak sampai satu mil lagi jauhnya, namun rasanya seperti masih puluhan mil letaknya, dan perjalanan mendaki bukit yang umumnya hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit, kini harus ia tempuh selama lebih dari satu jam akibat badai salju yang makin deras, serta hawa dingin yang menusuk tulang. Ia berpaling dan memandang Volis di belakangnya, namun tempat itu sudah tak terlihat lagi, ditelan hamparan salju yang putih. Kyra pun sudah terlalu kedinginan untuk kembali ke sana.

Kakinya gemetar kedinginan, jari-jari kakinya mati rasa, tangannya mencengkeram tongkat dengan kaku, dan Kyra akhirnya berhasil melewati bukit itu dan ia merasakan kehangatan yang meruak tiba-tiba saat melihat Benteng Api yang membentang di hadapannya. Pemandangan itu membuatnya terpukau. Dari jarak tak sampai tiga ratus kaki jauhnya, cahaya benteng itu tampak sangat cemerlang hingga mampu menerangi gelapnya malam dan membuatnya terasa seperti siang hari; Benteng Api menjulang demikian tinggi, hingga saat mendongak ke atas, ia tak dapat melihat ujung dindingnya. Bara api itu terasa sangat panas, hingga dari jarak sejauh itu saja ia dapat merasakan tubuhnya menjadi hangat; tubuhnya perlahan terasa pulih saat ia bisa merasakan lagi tangan dan jari-jari kakinya. Api bergemeretak dan berdesis dengan sangat kencang, hingga desiran angin pun tak terdengar lagi.

Kyra terpesona, lalu ia melangkah lebih dekat lagi hingga merasa lebih hangat, seolah ia tengah berjalan mendekati permukaan matahari. Ia merasa dirinya bagai mencair saat mendekati Benteng Api, mulai merasa jari-jari kaki dan tangannya lagi, dan merasa geli saat tubuhnya perlahan pulih. Rasanya bagaikan berdiang di depan sebuah perapian yang besar, dan ia merasa semangatnya bangkit kembali. Ia masih berdiri di depan benteng itu dengan terkesima, bagai seekor ngengat melihat nyala api, memandang takjub pada dunia yang ajaib, keajaiban terbesar yang ada di negeri mereka, sesuatu yang membuat mereka tetap aman—dan sesuatu yang tak pernah dipahami oleh siapa pun. Sesuatu yang tak dimengerti oleh para ahli sejarah, pun para raja, dan bahkan para penyihir. Kapankah semua ini bermula? Apa yang membuatnya tetap menyala? Bilakah api itu akan padam?

Konon, hanya Sang Pengawas yang tahu jawabannya. Namun tentu saja, Sang Pengawas takkan pernah mengungkapkan jawaban itu. Kata legenda, Pedang Api-lah yang membuat api itu terus menyala, pedang yang disimpan di salah satu dari dua menara di Benteng Api—namun tak seorang pun tahu menara yang mana. Menara itu dijaga oleh sekelompok pasukan yang menyerupai sebuah sekte, Sang Pengawas julukannya, sebuah ordo kuno, separuh manusia dan separuh makhluk tak dikenal; kedua menara itu tersembunyi letaknya dan dijaga ketat di dua sisi Escalon yang berseberangan, satu di pesisir barat jauh, di Ur, dan satunya lagi di sudut tenggara Kos. Sang Penjaga itu pun dibantu oleh para ksatria terbaik yang dimiliki oleh kerajaan, dan mereka semua bertekad untuk menjaga Pedang Api agar tetap tersembunyi dan agar Benteng Api tetap menyala.

Kata ayahnya, tak terhitung lagi berapa banyak troll yang mencoba menerobos Benteng Api untuk menemukan kedua menara itu, untuk mencuri Pedang Api—namun tak satu pun dari mereka berhasil melakukannya. Sang Pengawas itu terlalu kuat untuk dikalahkan. Lagipula, bahkan Pandesia dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya, tak berani mencoba merebut kedua Menara itu, tak berani memancing amarah Sang Pengawas dan merendahkan Benteng Api.

Kyra melihat sebuah gerakan, dan di kejauhan tampaklah para prajurit yang sedang berkeliling sambil membawa obor, menyusuri Benteng Api, dengan pedang terselip di pinggangnya. Mereka tersebar setiap sekitar seratus lima puluh kaki jaraknya, dengan wilayah pengawasan yang luas. Jantungnya berdegup semakin kencang saat melihat mereka. Ia telah benar-benar sampai di Benteng Api.

Kyra berdiri saja di situ, waspada karena menyadari bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Ia tahu bahwa kapan pun, para troll bisa saja merangsek menuju kobaran api itu. Tentu saja, api akan membunuh sebagian besar dari troll itu; namun ada beberapa troll yang berlindung menggunakan perisainya untuk menerobos masuk dan tetap selamat, setidaknya cukup memberi mereka waktu untuk membunuh sebanyak mungkin prajurit di sana. Ada kalanya pula, para troll itu berhasil menerobos masuk dan berkeliaran di dalam hutan serta meneror desa-desa di sekitarnya. Ia ingat ketika pada suatu kali anak buah ayahnya membawa pulang sebuah kepala troll; itu adalah pemandangan yang takkan pernah dilupakannya.

Selagi Kyra memandang ke dalam Benteng Api, secara misterius ia membayangkan takdirnya sendiri, kelak ketika hidup jauh dari rumah. Akan jadi apakah dirinya nanti?

"Hei, apa yang kau lakukan di sini?" hardik seseorang padanya.

Ia adalah seorang prajurit, salah satu anak buah ayahnya; ia menangkap basah Kyra, dan kini berjalan menghampirinya.

Kyra tak ingin terjadi perkelahian. Tubuhnya kembali hangat, semangatnya bangkit lagi, dan inilah saatnya untuk melanjutkan langkahnya.

 

Ia bersiul memanggil Leo, lalu keduanya berbalik dan berjalan menembus badai, menuju ke hutan yang jauh. Kyra tak tahu tujuannya selanjutnya, namun karena terilhami oleh Benteng Api, ia yakin bahwa takdirnya ada di suatu tempat entah di mana, meskipun ia belum mengetahuinya.

*

Kyra berjalan terseok-seok menembus gelapnya malam, kedinginan hingga ke tulang, untunglah Leo ada bersamanya; ia tak tahu berapa jauh lagi ia harus berjalan. Ia telah berusaha mencari tempat berteduh, sekadar peristirahatan untuk berlindung dari angin dan salju yang dingin menusuk tulang; dan meskipun ia tahu risiko yang mungkin menghadang, langkahnya membawa dirinya menuju ke Hutan Akasia, satu-satunya tempat yang terlihat dari situ. Ia telah jauh Benteng Api, dan nyala apinya tak lagi terlihat di kaki langit, dan bulan berwarna merah darah telah lama ditelan awan tebal; yang tersisa tinggal malam gelap gulita. Jemari tangan dan kakinya kembali mati rasa, dan keadaannya semakin lama semakin buruk. Ia mulai merasa betapa bodoh keputusannya untuk pergi dari benteng. Ia bertanya-tanya apakah ayahnya -yang rela menyerahkannya apabila diminta- akan peduli.

Kyra merasakan kemarahan meluap dalam dirinya saat berjalan menembus salju, melangkah tak tentu arah, namun bertekad untuk meninggalkan kehidupan yang telah menantinya. Ketika embusan angin datang lagi dan Leo mendengking, Kyra memandang ke atas dan terkejut karena ia telah tiba di tempat ini: Hutan Akasia dengan pepohonan yang tinggi membentang di depannya.

Langkah Kyra terhenti, ia merasa gelisah karena menyadari betapa berbahayanya hutan ini—bahkan di siang hari, bahkan jika ia memasukinya bersama sekawanan orang. Masuk ke hutan ini seorang diri di malam hari—apalagi saat Bulan Musim Dingin, ketika arwah-arwah bergentayangan—adalah tindakan yang gegabah. Ia tahu, apa pun bisa terjadi.

Namun embusan angin menerpa lagi, menjatuhkan salju di tengkuknya dan membuatnya kedinginan bukan main, lalu Kyra berjalan melintasi pohon yang pertama, dengan salju tebal di cabang-cabangnya, kemudian masuklah ia ke hutan itu.

Saat masuk ke dalamnya, segera saja Kyra merasa lega. Cabang-cabang yang rimbun melindunginya dari terpaan angin, dan suasana pun lebih tenang di situ. Salju yang deras tak begitu terasa di dalam hutan karena terhalang oleh cabang-cabang pohon yang rimbun, dan baru kali ini pandangan Kyra lebih jelas sejak meninggalkan benteng. Bahkan, badannya sudah terasa lebih hangat.

Kyra menggunakan kesempatan ini untuk mengibaskan salju dari lengan dan bahu serta rambutnya, dan Leo pun mengibas-ngibaskan salju di tubuhnya; salju berhamburan ke mana-mana. Kyra merogoh sakunya dan mengambil sekerat daging kering untuk Leo, lalu serigala itu menyambarnya penuh semangat sembari menggoyang-goyangkan kepalanya.

"Jangan khawatir, aku akan mencari tempat berteduh, kawan," kata Kyra.

Kyra berjalan semakin masuk ke dalam hutan, mencari tempat berteduh karena tahu bahwa ia harus bermalam di hutan untuk menunggu salju reda, bangun keesokan harinya dan melanjutkan perjalanannya di pagi hari. Ia mencari sebuah batu yang besar untuk bernaung, atau ceruk pada batang pohon, atau lebih baik lagi sebuah gua—ia mencari naungan apa pun, namun tak menemukan apa-apa.

Kyra semakin jauh berjalan, menembus salju setinggi lututnya, menembus cabang-cabang pohon yang berselimu salju di dalam hutan yang lebat ini; saat ia berjalan, didengarnya suara-suara ganjil binatang yang berteriak di sekelilingnya. Ia mendengar dengkuran berat dari sebelahnya, lalu ia menoleh dan mengintip ada apa gerangan di balik cabang-cabang yang rimbun itu—namun malam terlalu gelap hingga ia tak dapat melihat apa pun di sana. Kyra bergegas, tak ingin membayangkan makhluk apa yang mungkin tinggal di situ, dan ia sedang tak ingin berkelahi melawannya. Ia menggenggam erat-erat busurnya, ragu-ragu apakah ia mampu menggunakannya dengan tangan yang beku kedinginan seperti itu.

Kyra mendaki sebuah lereng landai, dan saat tiba di puncaknya, ia berhenti dan memandang ke sekitar dengan bantuan cahaya bulan yang mengintip di balik celah dedaunan rimbun yang menaunginya, Di bawah sana, di depannya, terdapat sebuah danau yang berkilauan; airnya berwarna biru pucat, jernih, dan ia segera tahu bahwa danau itu bernama Danau Mimpi. Ayahnya pernah mengajaknya ke sini, suatu kali saat ia masih kanak-kanak, dan mereka menyalakan sebuah lilin lalu meletakkannya di atas daun teratai, sebagai sebuah penghormatan untuk ibunya. Konon danau ini adalah sebuah tempat yang sakral, sebuah cermin besar tempat manusia bisa melihat kehidupan di alam fana dan alam baka. Danau ini adalah sebuah tempat yang mistis, sebuah tempat yang tak ingin kau kunjungi tanpa alasan yang kuat, tempat di mana permohonan tulus akan dikabulkan.

Kyra berjalan menuju ke danau itu, rasanya seolah ia tenggelam di dalamnya. Ia berjalan tersandung-sandung menuruni bukit, tongkatnya ia gunakan untuk menjaga langkahnya tetap seimbang; ia melintasi pepohonan, seringkali tergelincir dan terus berusaha menyeimbangkan langkah kakinya, hingga ia akhirnya tiba di tepi danau itu. Anehnya, bibir danau yang berpasir putih itu tak terkena salju sama sekali. Ajaib sekali.

Kyra berlutut di bibir danau, bergidik karena kedinginan dan memandang ke bawah. Di bawah cahaya bulan, ia melihat bayangan dirinya di permukaan air seolah balas menatapnya; rambut pirangnya tergerai hingga ke pipi, matanya yang berwarna abu-abu terang, tulang pipinya yang menonjol, kulitnya yang halus, sama sekali tak ada mirip-miripnya dengan ayah atau saudara laki-lakinya. Ia terheran-heran melihat sosok pembangkang terpancar dari matanya, dari mata seorang prajurit.

Saat memandangi bayangannya itulah ia teringat kata-kaa ayahnya bertahun-tahun yang lalu: doa tulus yang dipanjatkan di Danau Mimpi akan terkabul.

Di persimpangan jalan hidupnya kini, Kyra sangat membutuhkan petunjuk. Belum pernah ia merasa sebingung ini tentang apa yang harus diperbuatnya, ke mana ia harus pergi selanjutnya. Dipejamkanlah matanya dan ia pun berdoa semampunya.

Tuhan, aku tak tahu siapa Engkau. Namun kumohon pertolonganmu. Berilah aku sesuatu, dan akan kupersembahkan apa pun yang Engkau minta. Tunjukkanlah jalan mana harus kutempuh. Berikanlah hidup yang terhormat dan keteguhan hati. Berikanlah hidup yang penuh keberanian. Izinkanlah aku menjadi seorang prajurit tangguh, yang tak tergantung pada belas kasihan pria mana pun juga. Izinkanlah aku agar bebas melakukan apa pun sesuai pilihanku—bukan seturut pilihan orang lain untukku.

Kyra berlutut di situ, membeku karena dingin; ia putus asa, tak tahu lagi tujuan dalam hidupnya, dan ia berdoa sepenuh hati dan jiwanya. Ia sama sekali tak mempedulikan waktu dan tempat.

Kyra tak tahu sudah berapa lama ia berdoa ketika ia membuka matanya; serpih-serpih salju menempel di kelopak matanya. Ia merasa telah berubah, namun entah bagaimana; seakan ada kedamaian di dalam batinnya. Ia memandangi danau, dan kali ini ia terkesima akan bayangan apa yang dilihatnya.

Ia tidak melihat bayangan dirinya yang tengah balas menatapnya—namun ia melihat bayangan seekor naga. Matanya tampak garang dan menyala, dengan sisik merahnya, dan ia merasa aliran darahnya berhenti ketika naga itu membuka mulutnya lalu meraung padanya.

Kyra pun tertegun dan terkejut demi melihat seekor naga berdiri di depannya. Ia memandang ke sekeliling, namun ia tak melihat apa pun.

Di situ hanya ada dirinya dan Leo yang mendengking lirih.

Kyra berpaling dan memandang air danau itu lagi, dan kini yang dilihatnya hanyalah wajahnya sendiri yang tengah balas memandangnya.

Jantungnya berdegup kencang. Apakah itu semua hanya ilusi cahaya? Apakah itu khayalannya saja? Tentu saja semua itu mustahil terjadi—naga tak pernah mendatangi Escalon selama ribuan tahun terakhir. Apakah ia sudah sinting? Apa arti semuanya ini?

Kyra tersentak saat tiba-tiba ia mendengar sebuah suara mengerikan jauh di dalam hutan; seperti sebuah lolongan, atau mungkin sebuah lengkingan. Leo pun mendengarnya, dan saat kepalanya menoleh dan menggeram, bulu-bulunya tegak berdiri. Pandangan Kyra menyelidik ke dalam hutan, dan di kejauhan tampaklah pendar redup di balik barian pepohonan. Seakan-akan di sana terdapat api yang membara—namun tak ada api yang menyala di sana. Hanya ada pendar putih yang mengerikan.

Bulu di tengkuk Kyra merinding karena ia merasa seakan-akan sebuah dunia lain tengah melambai memanggilnya. Ia merasa seakan telah membuka sebuah pintu ke dunia lain. Naluri menyuruhnya untuk berbalik dan berlari, namun ia seakan-akan terpukau, dan tubuhnya bergerak sendiri menuntunnya untuk bangkit dan berjalan mendatangi sumber cahaya itu.

Kyra berjalan mendaki bukit bersama Leo, dan cahaya itu tampak makin terang saat ia melintasi pohon demi pohon. Akhirnya, tibalah ia di punggung bukit, dan ia pun seketika berhenti karena terperanjat. Di depannya, di sebuah padang yang tak seberapa luas, terpampang sebuah pemandangan yang tak pernah ia duga-duga—dan takkan pernah ia lupakan.

Di situ berdiri seorang wanita tua, dengan wajah lebih putih dari salju, tampak ganjil, penuh kutil dan bekas luka, dan ia tengah memandangi api yang menyala di depannya sambil menghangatkan tangan keriputnya di atas nyala api itu. Namun nyala api itu berwarna putih, dan tak ada satu pun kayu bakar di situ. Ia menatap Kyra dengan matanya yang biru pekat, tak ada warna putih di sana, tak ada pula anak mata. Itu adalah hal paling mengerikan yang pernah Kyra lihat, dan hatinya pun ciut. Nalurinya menyuruhnya untuk berbalik dan segera berlari, namun ia tak sanggup, dan justru melangkah mendekati wanita itu.

"Bulan Musim dingin," kata wanita itu, dengan suara berat yang tak wajar, seperti suara seekor katak lembu. "Saat di mana orang mati tak benar-benar bangkit dan orang hidup tak benar-benar mati."

"Yang manakah dirimu?" tanya Kyra sembari melangkah maju.

Wanita itu terkekeh dengan suara mengerikan yang membuat Kyra merinding. Leo menggeram di sampingnya.

"Pertanyaannya adalah, yang manakah dirimu,?" wanita itu balik bertanya.

Kyra mengernyit.

"Aku masih hidup," kata Kyra.

"Benarkah kau masih hidup? Bagiku, kau ini lebih mati daripada diriku."

Kyra tak mengerti apa maksud wanita itu, dan ia merasa kata-kata itu adalah sebuah teguran, teguran karena ia tak berjalan maju dengan berani dan mengikuti kata hatinya sendiri.

"Apa yang kau cari, wahai prajurit pemberani?" tanya wanita itu.

Jantung Kyra berdegup semakin kencang mendengar kata-kata itu dan ia pun memberanikan diri.

"Aku ingin hidup yang lebih hebat," kata Kyra. "Aku ingin menjadi seorang prajurit. Seperti ayahku."

Wanita tua itu kembali memandangi api di depannya, dan Kyra lega karena terlepas dari tatapan matanya. Keheningan yang panjang meliputi mereka berdua saat Kyra menanti kalimat berikutnya sembari menduga-duga dalam hati.

Akhirnya, setelah kebisuan yang amat lama, Kyra pun merasa kecewa. Mungkin wanita itu memang tak ingin menjawabnya. Atau mungkin saja keinginannya itu tak mungkin terwujud.

"Dapatkah kau membantuku?" tanya Kyra. "Dapatkah kau mengubah takdirku?"

Wanita itu balas memandang, matanya bersinar kuat, menakutkan.

"Kau memintanya di suatu malam ketika segala sesuatu dapat terjadi," jawabnya lirih. "Jika kau sangat menginginkannya, maka keinginanmu itu dapt terkabul. Pertanyaannya adalah: apa yang rela kau korbankan demi meraihnya?"

Kyra berpikir keras, jantungnya berdegup kencang membayangkan berbagai kemungkinan yang dapat ia korbankan.

"Akan kuberikan apa pun," katanya. “Apa pun.”

Lalu mereka berdua kembali membisu, ditingkahi desau angin. Leo mulai mendengking.

"Kita masing-masing terlahir dengan sebuah takdir," akhirnya wanita tua itu angkat bicara. "Namun kita pun harus memilih takdir mana yang akan kita jalani. Nasib dan kehendak, keduanya saling di berkelindan sepanjang hidup kita. Selalu ada pertentangan tak kunjung henti antara keduanya. Manakah yang akan menang....itu tergantung."

"Tergantung pada apa?" tanya Kyra.

"Seberapa kuat kehendakmu. Seberapa besar keinginanmu untuk meraih sesuatu—dan seberapa besar anugerah Tuhan bagimu. Dan terutama, apa yang rela kau korbankan untuk meraihnya."

"Aku rela berkorban," kata Kyra; ia merasa kekuatan muncul di dalam dirinya. "Akan kukorbankan apa pun demi meninggalkan hidup yang diatur oleh orang lain untukku."

Di tengah kebisuan panjang yang kembali menyelimuti, wanita itu menatap mata Kyra dengan maksud tertentu, dan Kyra nyaris berpaling darinya.

 

"Bersumpahlah padaku," kata wanita tua itu. "Malam ini juga, bersumpahlah bahwa kau rela menebus keinginanmu itu."

Kyra melangkah maju dengan bersungguh-sungguh, jantungnya berdegup, ia merasa bahwa hidupnya akan segera berubah.

"Aku bersumpah," ucap Kyra dengan bersungguh-sungguh, lebih dari seluruh kata-kata yang pernah diucapkannya.

Suaranya yang mantap terdengar nyaring, menyiratkan wibawa yang bahkan membuat dirinya sendiri terheran-heran.

Wanita renta itu memandangnya, dan untuk kali pertama, wanita itu mengangguk saat raut mukanya perlahan berubah, menyiratkan rasa hormat.

"Kau akan menjadi seorang prajurit—bahkan lebih," kata wanita itu dengan keras, sembari merentangkan tangannya, suaranya menggelegar semakin keras. "Kau akan menjadi prajurit terbaik. Lebih hebat daripada ayahmu. Dan lebih dari semua itu, kau akan menjadi seorang pemimpin besar. Kau akan memiliki kekuatan yang melebihi impianmu. Seluruh negeri akan menghormatimu."

Jantung Kyra berdegup kencang di dadanya ketika mendengar pernyataan itu, yang diucapkan dengan penuh wibawa, seolah telah benar-benar terwujud.

"Namun kau juga akan digoda oleh kegelapan," lanjut wanita itu. "Akan ada pergulatan besar di dalam dirimu, antara kegelapan melawan terang. Jika kau sanggup mengalahkan dirimu sendiri, maka dunia ini akan menjadi milikmu."

Kyra masih berdiri di situ, sulit baginya untuk memercayai semua ini. Bagaimana mungkin? Pasti wanita itu salah menyatakan takdir orang lain. Belum pernah ada seorang pun yang mengatakan bahwa Kyra akan menjadi seorang besar, bahwa ia akan menjadi seseorang yang istimewa. Semua ini tampak asing baginya, tampak di luar jangkauannya.

"Bagaimana?" tanya Kyra. "Bagaimana bisa begitu? Aku hanyalah seorang gadis."

Wanita itu tersenyum, dengan senyum licik dan menyeramkan yang takkan pernah Kyra lupa seumur hidupnya. Wanita itu melangkah mendekat, begitu dekat hingga Kyra gemetar ketakutan.

"Ada kalanya, takdir telah menunggumu dekat sekali, di setiap embusan nafasmu," kata wanita itu sambil menyeringai.

Lalu seberkas cahaya menyilaukan muncul dengan tiba-tiba, dan Kyra menutupi matanya dan Leo menggeram lalu menerkam wanita tua itu.

Saat Kyra membuka matanya, cahaya itu telah hilang. Wanita itu telah pergi, dan Leo hanya menerkam ruang kosong. Hanya ada kegelapan di seluruh tempat itu.

Kyra memandang ke sekeliling dengan kebingungan. Apakah itu tadi hanyalah khayalannya saja?

Sekonyong-konyong, bagai menjawab pertanyaan dalam benaknya, terdengarlah raungan mengerikan yang sangat keras, seolah raungan itu datang dari kayangan. Kyra berdiri terpaku di situ, dan benaknya tertuju pada danau itu. Pikirannya langsung menuju pada bayangan dirinya di permukaan air danau.

Meskipun ia tak memandang ke sana, namun entah bagaimana ia tahu bahwa raungan tadi adalah raungan seekor naga. Raungan itu datang dari suatu tempat di seberang tanah lapang itu, tengah menanti dirinya.

Setelah wanita itu menghilang dan hanya tinggal dirinya yang berdiri di situ, Kyra linglung, mencoba memahami apa yang tengah terjadi, dan apa arti semua ini. Dan terlebih, ia mencoba mengetahui asal suara itu. Suara raungan itu tak seperti raungan yang pernah ia dengar, sangat keras, bagai suara yang muncul dari dalam tanah. Tak ayal suara itu pun membuatnya ngeri dan terpaku, tak dapat berlari ke mana pun. Suara itu bergema dalam dirinya dengan cara yang tak ia mengerti, dan ia sadar bahwa suara itu telah terngiang-ngiang di telinganya seumur hidupnya.

Kyra berlari cepat-cepat menembus hutan dengan Leo mengikuti di sampingnya; ia terseok-seok menembus salju yang tebal, cabang-cabang pohon menggores wajahnya, namun ia tak peduli, karena ia ingin segera mendatangi asal suara itu. Saat suara itu terdengar melengking lagi, Kyra tahu bahwa suara itu tengah meneriakkan kesedihan.

Ia tahu bahwa naga itu tengah sekarat—dan sangat membutuhkan pertolongan Kyra.